48. Nightmare (part 2)

26.1K 1.9K 21
                                    

Lily

Tidak banyak hal yang bisa kuingat. Aku ingat ketika bertemu Om Danu di parkiran. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi karena ada yang memukul kepalaku.

Aku ingat ketika tersadar di ruangan yang pengap dan gelap, berusaha untuk kabur dari Om Chandra. Mengingat Om Chandra membuatku ketakutan, trauma masih mengikutiku ketika malam itu dia mencoba untuk memperkosaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Karena ketika aku tersadar untuk kedua kalinya, aku berada di dalam mobil yang melaju kencang.

Setelahnya, aku kembali tidak sadarkan diri.

Menurut dokter, aku koma selama sepuluh hari. Mereka hampir menyerah, apalagi ketika datang ke rumah sakit, keadaanku sangat memprihatinkan. Beruntung ada mobil polisi yang patroli, sehingga mereka menyaksikan ketika mobilku menabrak pohon dan langsung membawaku ke rumah sakit. Terlambat sedikit saja, aku tidak akan bisa diselamatkan.

Namun, tidak ada yang bisa menyelamatkan anakku.

Dokter memberitahu bahwa aku terpaksa kehilangan anakku ketika kecelakaan itu terjadi. Ada ruang kosong di hatiku begitu menyadari, anakku sudah tiada. Aku belum sempat memberi tahu Pak Rudy, dan anakku sudah ditarik paksa dari hidupku.

Aku menatap sekeliling. Rasanya masih asing ketika terbangun, aku berada di ruangan serba putih. Berbanding terbalik dengan tempat Om Chandra dan Om Danu menyekapku.

"Kamu butuh sesuatu?"

Aku menoleh ke arah Pak Rudy. Dia selalu berada di dekatku sejak aku sadar kemarin pagi. Sampai hari ini, ketika aku pindah ke ruang perawatan seizin dokter.

"Mau minum?"

Lima menit yang lalu, dia menanyakan hal yang sama. Aku menggeleng.

"Mau istirahat?"

Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi lidahku terasa kelu. Aku menyimpan rahasia besar darinya, meski aku tidak memberitahunya, aku yakin Pak Rudy tahu soal kehamilanku. Namun, dia tidak menyinggungnya.

Kemarin, ketika aku hendak bertanya tapi tak ada yang keluar dari mulutku, dia memelukku. Dia terisak, tangisnya merupakan sesuatu yang tidak kusangka. Detik itu aku tahu anakku sudah tiada. Rasa pedih memenuhi hatiku, dan rasa pedih itu tidak beranjak sedikit pun dari sekarang.

Aku memejamkan mata ketika merasakan Pak Rudy mengusap rambutku. Rasa pedih di hatiku terasa semakin menusuk ketika dia mengecup keningku. Kalau saja aku tidak menunda-nunda dan memberitahunya begitu aku mengetahui soal kehamilanku, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi.

Aku menggeleng, penyesalan tidak akan membuat keadaanku jadi lebih baik. Penyesalan hanya membuat luka di hatiku semakin menganga lebar.

"Kamu istirahat, ya."

Tanganku terulur untuk meraihnya. Pak Rudy menggenggam tanganku dengan erat.

"I'm here. Aku enggak akan ninggalin kamu."

Perasaanku masih campur aduk, tapi perlahan, ucapannya mampu mengalirkan ketenangan ke hatiku.

***

Ketika tidak ada lagi kabel dan peralatan medis yang tersambung ke tubuhku, akhirnya dokter mengizinkanku untuk bangkit dari tempat tidur. Selang infus masih terpasang di lenganku, satu-satunya yang menahanku masih berada di tempat tidur.

"Mau jalan-jalan?" tanya Pak Rudy.

Aku mengangguk. Baru dua hari, dan aku sudah bosan tidak bisa melakukan apa-apa.

Pak Rudy membantuku duduk di kursi roda. Dokter Ridwan menjadwalkan sesi fisioterapi agar aku bisa kembali berjalan tanpa bantuan. Tidak sadarkan diri berhari-hari mempengaruhi saraf motorik di tubuhku, dan fisioterapi diharapkan bisa membantuku.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang