Lily
Uring-uringan sendiri di kamar kos membuatku berakhir di apartemen Ibel. Dia memberiku keycard sebagai akses masuk ke apartemennya, saking seringnya aku ke sana kalau bosan di kos atau ingin bersembunyi dari kejaran ayah tiriku.
Pagi ini, aku sendirian di apartemen Ibel karena semalam dia menginap di tempat Tristan. Tidak biasa-biasanya, apartemen Ibel yang cozy malah gagal membuatku tenang.
Mimpi tengah berhubungan panas dengan Pak Rudy mengakar erat di benakku.
Dan juga, aku enggak punya muka bertemu dengannya setelah insiden salah kirim foto semalam. Meski dia mengizinkanku libur hari ini, bagaimana dengan Senin depan? Rasanya terlalu berharap kalau aku ingin Pak Rudy menghapus foto telanjangku dari ingatannya.
Namun, di sisi lain, ucapan Pak Rudy saat di lift membuatku ingin dia terus mengenang foto itu. Sesuai janjinya.
Tubuhku kembali merasa gerah karena bayangan Pak Rudy memuaskan dirinya sambil memandangi fotoku.
"Ugh..." Aku menenggelamkan wajah ke bantal kursi untuk menahan jeritan.
"My boobies, are you okay?"
Suara riang Ibel membuatku langsung mengangkat wajah dan memelototinya. Dia malah cengengesan di depanku tanpa perasaan bersalah.
"Gue uring-uringan gini karena lo tahu," semprotku.
Ibel hanya menaikkan sebelah alis. Menyebalkan. Dengan santai dia menempati sisi kosong sofa yang kududuki, dan memelukku. Ibel mengguncang tubuhku karena gemas.
"Kenapa, sih? Anyway, I missed your boobs last night. Miss them." Ibel menangkup payudaraku dan meremasnya.
Aku menepis tangan Ibel dan kembali memelotot. "No more boobs for you."
Karena permintaan Ibel itulah aku sampai mengalami masalah ini.
Di depanku, Ibel memasang wajah merajuk. "Kenapa, sih?"
Setelah satu tarikan napas, aku menceritakan semuanya. Ibel langsung tertawa ngakak saat mendengarnya. Tanggapannya membuatku semakin ingin menghajarnya, karena bukannya bersimpati telah membuatku berada di posisi ini, dia malah menertawakanku.
"Ini tuh bos lo yang ganteng itu, kan?"
Aku mengangguk.
"Dia enggak marah, tapi malah mau jadiin foto lo buat bacol?"
Aku tidak menjawab, hanya melirik kesal ke arah Ibel.
"Gue penasaran mau tahu bentukan bos lo."
"Enggak usah, makasih," balasku.
Ibel masih saja terpingkal-pingkal, sama sekali tidak bersimpati dengan masalahku.
"Gue harus gimana, Bel?" Tanyaku.
Ibel mengerutkan kening, membuatku menunggu apa pun yang keluar dari mulutnya dengan penuh waspada. Siap untuk menghajarnya kalau dia membuatku semakin uring-uringan.
"Kalau gue jadi lo, bakalan ngantor pakai pakaian seksi. Biar dia makin blingsatan," jawab Ibel.
Aku kembali menenggelamkan wajah di bantal kursi untuk menahan teriakan.
"Ingat camisole yang gue beliin buat ulang tahun lo? Kan seksi tuh. Pakai itu aja."
Bisa-bisanya aku mempertimbangkan saran konyol Ibel. Aku menggeleng kencang, mengusir ide itu dari benakku.
"Selama ini dia kan cuma lirik doang. Nah sekarang gue yakin dia enggak bakal tahan kalau cuma lirik. Minimal cium deh. Kan lo udah ngebet mau dicium dia." Ibel melanjutkan idenya.
Aku menggeleng. As tempting as it sounds, I know this is a bad idea.
"Kali aja abis itu diajak ngeseks kan lo juga yang untung."
Aku langsung berdiri dan bersiap untuk pergi, tapi notifikasi pesan masuk di handphone membuatku mengurungkan niat.
Wajahku langsung pucat saat membaca pesan itu. Lututku mendadak lemas sehingga aku kembali terduduk.
Ibel sangat mengenalku, hilang sudah tawa konyol itu berganti raut cemas.
"Orang tua lo?" Tanyanya.
Aku mengangguk. "Mereka lagi otw ke kos gue."
"Lo di sini aja, biar enggak usah ketemu mereka," tawar Ibel.
Ini satu alasan aku sering bersembunyi di apartemen Ibel.
Hanya ada satu alasan orang tuaku mencariku. Maksudku Mama dan suami barunya yang menjadi ayah tiriku selama lima tahun terakhir.
Mereka sudah kehabisan uang.
Sejak Papa masih ada, Mama suka menghamburkan uang. Tepatnya uang Papa. Jadi, ketika Papa meninggal mendadak karena serangan jantung, kehidupanku berubah drastis.
Aku tidak menyangka Papa sudah mempersiapkan warisan untukku. Hanya aku. Karena tidak ada sepeser pun yang ditinggalkan untuk Mama. Termasuk juga jabatan di perusahaan Papa.
Namun, karena aku belum cukup umur, aku membutuhkan wali. Dia adalah Mama. Beliau berharap dengan menjadi wali, Mama punya akses ke uang Papa. Namun, Mama masih butuh persetujuanku. Mama pernah memalsukan tanda tanganku, tapi di percobaan kedua beliau gagal.
Sejak menikah lagi, Mama makin menjadi-jadi. Ayah tiriku membawa pengaruh buruk. Mereka berambisi untuk menguasai harta Papa. Malah aku yakin mereka tidak akan segan-segan membunuhku. Aku berpesan ke Ibel, kalau terjadi sesuatu padaku, dia cukup melaporkan orang tuaku.
Kali terakhir mereka menangkapku di kos, aku terpaksa menandatangani cek yang disodorkan Mama karena jijik melihat tatapan ayah tiriku yang menggerayangiku.
Pengacara Papa pernah bilang, kalau aku bisa menunjuk wali lain. Sulit untuk mencari wali lain yang punya legal standing kuat untuk melawan Mama.
"Babe, you know I'm willing to help. Gue bisa nikahin lo kalau itu berarti lo bisa menunjuk gue sebagai wali."
Ucapan Ibel mengingatkanku pada posisiku yang lemah. "Gue tahu, Bel. Tapi itu enggak adil buat lo."
"Di atas kertas aja."
"Nyokap gue kenal lo. Dia pasti enggak percaya sama pernikahan kita," balasku.
"Uang bokap lo bisa habis sebelum lo berumur 21," timpalnya.
Aku menghela napas panjang. "Tahu, deh. Gue mau ke gym dulu."
"Lily..." Ibel berusaha mencegahku.
"Mumet, Bel. Gue mau lari dulu."
Jadi, aku pun melakukan satu hal yang selalu kulakukan. Lari dari masalah.
Aku beranjak menuju gym yang ada di kompleks apartemen Ibel. Berharap setengah jam lari di treadmill bisa menenangkan pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...