17. Secercah Ide

44.2K 2.1K 24
                                    

Rudy

Begitu mataku menangkap sosok Candra keluar dari mobil rongsokan yang sudah tidak layak pakai itu, instingku langsung waspada. Aku keluar dari mobil dan mengikuti Candra. Aku melihatnya mendekati Lily. Entah masalah apa yang akan timbul, aku tidak bisa membiarkan dia menyentuh Lily.

Lily tidak memberitahuku tentang pertemuannya dengan Danu. Aku ingin bertanya, tapi Lily terlihat tidak fokus. Dia menatap nanar jalanan di hadapannya. Pikirannya berkelana entah ke mana, meski fisiknya ada di sini. Jadi, aku menunggu sampai Lily bisa menguasai diri.

"Pak..." Panggilannya terdengar lemah.

Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di hadapanku, aku mendengung singkat menjawab penggilannya.

"What should I do?" Ada nada putus asa di balik pertanyaan itu. "Aku seolah enggak kenal Om Danu. Apalagi tadi ada Om Candra. Mereka pasti kerjasama."

Aku belum tahu untuk siapa Candra bekerja. Untuk Danu atau Putratama? Aku juga tidak tahu siapa yang menjadi targetnya. Namun, aku tidak bisa mengenyahkan firasat bahwa Lily berada di pusaran masalah itu.

Rasa untuk melindungi Lily semakin menjadi-jadi, meski aku tidak menemukan alasan di balik kehadiran rasa itu.

"We'll think about it."

Alih-alih mengantarkan Lily ke kost, aku membawanya ke apartemen. Temannya sudah menunggu di lobi. Dia langsung memeluk Lily begitu perempuan itu turun dari mobilku. Laki-laki itu mengangguk sekilas kepadaku, membisikkan terima kasih, sebelum membawa Lily pergi.

Setelah mereka menghilang ke dalam lift, aku menuju mobilku. Panggilan telepon terhubung ke Om Hasan, sementara aku menyetir menjauh dari apartemenku.

"Rudy, what's up?"

"Om, saya mau membahas soal akuisisi Mahakarya."

Om hasan tertawa ringan. "Akhirnya kamu membuat keputusan yang tepat. Om tunggu di rumah."

Aku menjalankan mobil menuju rumah Om Hasan di daerah Sentul. Siang ini jalanan cukup bersahabat sehingga tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana.

Setelah pensiun, Om Hasan menghabiskan waktu di rumahnya di Sentul. Namun, bukan berarti dia berhenti sepenuhnya. Insting bisnis Om Hasan tidak pernah tidur. Beliau yang pertama kali membawa Mahakarya ke hadapanku. Sudah lama Om Hasan membujukku untuk melakukan akuisisi itu.

Om Hasan menungguku di patio di halaman belakang rumahnya. Sore yang tenang di Sentul menjadi backdrop menarik untuk membicarakan bisnis.

"Kenapa kamu akhirnya mau mengakuisisi Mahakarya?" Om hasan langsung menodongku dengan pertanyaan.

Saat ini, alasan yang terpikirkan olehku adalah Lily. Namun, aku menyimoannya jauh-jauh.

"Saya tidak mau perusahaan itu jatuh ke tangan Putratama."

Om Hasan tertawa. "Putratama selalu menjegal langkahmu. Dia selalu tahu apa yang akan kamu lakukan, dan mendahuluimu."

Putratama adalah musuh bebuyutan Om Hasan. Dia menjadikanku musuh ketika aku melanjutkan Abdi Construction. Ketika keadaan Abdi berada di bawah, Putratama tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sudah lama dia ingin menghancurkan Abdi, dan ini kesempatan emas untuknya. Dia hampir berhasil, lalu aku hadir dan mengambil Abdi dari bawah hidungnya. Sejak saat itu, Putratama mengibarkan bendera perang denganku.

"Om sendiri, kenapa bersikeras untuk mengakuisisi Mahakarya?" Aku belum pernah mendengar alasan dari sisi Om Hasan.

"Saya dan Heru teman baik. Saya tidak mau melihat kerja keras Heru dihancurkan oleh Putratama." Om Hasan membuka diir.

"Kondisinya sekarang sangat butuk."

"Saya tidak heran, Danu selalu iri kepada Heru. Dia mendapat jackpot begitu Heru meninggal mendadak. Sangat disayangkan, Heru pergi begitu cepat," timpal Om Hasan.

"Saya pikir, alasan Om semata karena bisnis."

Om Hasan terkekeh. "Sebagian besar keputusan yang Om ambil terkait bisnis dan keuntungan yang bisa kita dapat. Namun ada keputusan yang terasa lebih personal. Ini salah satunya."

Aku merenungi jawaban Om Hasan. Selama ini aku selalu mengandalkan logika dalam membuat keputusan. Jika hanya mengandalkan logika, aku tidak akan menerima ajakan Om Hasan. Aku memang butuh tantangan, tapi Mahakarya bukan satu-satunya tantangan. Masih banyak tantangan lain di luar sana.

Mungkin yang kurasakan sesuai dengan penjelasan Om Hasan. Keputusan ini terasa lebih personal.

"Saya melihat Candra di kantor Danu."

"Candra selalu jadi tangan kanan Putratama untuk hal-hal illegal," tukas Om Hasan.

"Om tahu siapa targetnya?"

Om Hasan menggeleng. "Masih terlalu dini untuk mengambil keputusan."

Aku memasukkan Candra ke dalam daftar yang patut diwaspadai. Aku tidak akan membiarkan dia dekat-dekat dengan Lily.

"Ada kabar baru soal Putratama?"

"Dia hampir deal dengan Danu. Danu masih bersikeras di angka yang dia mau, sementara Putratama mau membeli di bawah harga pasar. Masalahnya, posisi Danu serba salah. Putratama satu-satunya jalan keluar," jawab Om Hasan.

"Saya bisa memberikan penawaran sesuai yang diminta Danu."

Om Hasan tertawa geli mendengar penuturanku. "Kamu pikir Putratama akan tinggal diam? Begitu dia tahu kamu tertarik, Om yakin akan mendengar berita jenazahmu ditemukan di pinggir tol. Candra yang akan menjegalmu."

Ucapan Om Hasan terdengar berlebihan, tapi di dunia bisnis yang kujalani, itu bukan hal asing.

"Masalah lainnya, Danu bukan pemilik saham utama."

Aku menoleh ke arah Om Hasan. "Siapa?"

"Anaknya Heru. Om enggak tahu dia di mana sekarang. Dia tidak terlibat aktif di Mahakarya, tapi namanya masih ada di daftar pemegang saham."

Kepingan puzzle yang tadi berserakan kini mulai menunjukkan gambar utuh.

"Kalau Danu mau menjual Mahakarya, dia harus memastikan semua pemilik saham setuju dengannya," lanjut Om Hasan.

Candra tidak hanya bekerja untuk Putratama. Dia juga bekerja untuk Danu. Danu tidak akan mengotori tangannya, untuk itu dia membutuhkan Candra.

Target mereka adalah Lily.

"Saya tahu di mana anaknya Heru."

Om Hasan menatapku dengan kening berkerut.

"Lily, sekretaris saya."

Om Hasan tidak menyembunyikan keterkejutannya. "Lily? Om ingat namanya Lily, tapi enggak tahu dia Lily sekretarismu. Dunia ini sempit."

Kepingan puzzle ini sudah semakin jelas, dan memunculkan ide di benakku. Ide yang sangat tidak masuk akal, tapi entah kenapa aku merasa ini satu-satunya cara yang bisa menguntungkanku, sekaligus melindungi Lily.


PS: Versi fast track sudah tersedia di KaryaKarsa. Terbaru bab 26 (Dorongan) dan bab 27 (Tempat Berbagi)

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang