24.Back to Where I Belong

47K 1.9K 14
                                    

"Hai, Lily, ya?"

Seorang perempuan berusia sekitar akhir 20-an menempati meja yang menjadi milikku selama tiga bulan terakhir. Aku langsung mengenalinya sebagai Dini, sekretaris yang sebelumnya bekerja untuk Pak Rudy tapi mengambil cuti panjang saat melahirkan sehingga ada lowongan kosong yang akhirnya kuisi. Seharusnya kontrakku sudah selesai begitu Dini kembali bekerja, tapi karena perjanjianku dengan Pak Rudy, aku masih bekerja di sini.

Entah apa yang dikatakan Pak Rudy pada HR sehingga mereka langsung menawarkan perpanjangan kontrak untukku. Memang, bukan hal yang aneh jika CEO dengan kesibukan yang tak berkesudahan membutuhkan dua orang sekretaris untuk memperlancar semua pekerjaannya, sehingga aku rasa tidak akan ada yang mencurigai keberadaanku di sini.

"Thank you ya udah cover kerjaanku selama tiga bulan ini." Dini menyambutku dengan sikap ramah.

Sebelum ini, kami hanya berkorespondensi lewat email dan telepon karena Dini telanjur cuti sebelum aku bergabung di perusahaan ini. Di awal-awal bekerja di sini, aku sering mengirim pesan kepada Dini kalau ada yang tidak kumengerti. Dia sangat membantu, sehingga aku merasa tidak enak hati saat terpaksa mengganggunya padahal Dini kelimpungan mengurus anaknya yang baru lahir.

"Gimana Lucy?" tanyaku.

Wajah Dini langsung berseri begitu mendengar nama putrinya. Ada rasa iri merambati hatiku. Aku ingin merasakan kebahagiaan yang sama seperti Dini, tapi sepertinya keinginan itu semakin menjauh dariku.

"Rasanya hari ini berat banget buat ke kantor." Dini menatap ke arah pintu dengan pandangan menerawang. Aku langsung mengerti. Dia pasti ingin berada di rumah bersama anaknya ketimbang bekerja.

"Dia di rumah sama siapa?" tanyaku.

"Ada Nanny. Suamiku WFH, jadi dia bisa mengawasi." Dini menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Tadinya aku khawatir waktu harus balik bekerja, tapi sewaktu aku tahu kamu masih di sini, aku lega. Setidaknya kita bisa berbagi pekerjaan. You know Pak Rudy gimana, kadang jam 12 malam masih aja email. Dulu, sih, aku enggak keberatan. Sekarang susah buat begadang, bawaannya mau istirahat terus."

Aku tersenyum maklum. Tentu tidak mudah menjadi ibu baru, apalagi bagi ibu bekerja seperti Dini.

"It's okay. Nanti kita saling back up aja," tawarku.

Dini tersenyum girang. "Jadi, apa aja yang aku harus ketahui?"

Sepanjang sisa pagi itu, aku berbagi pekerjaan yang kujalankan selama tiga bulan ini. Aku memberitahu semua proyek yang ditangani Pak Rudy. Dini yang lebih senior bisa mengatasinya dengan baik. Dia bahkan langsung bisa berbagi pekerjaan denganku, membuatku sangat terbantu dengan kehadirannya.

Aku merahasiakan soal Mahakarya dari Dini. Dini hanya tahu soal garis besarnya saja. Ketika Dini berbagi pekerjaan, aku mengambil alih soal Mahakarya dan Dini yang menangani semua proyek di Bintan. Untung saja Dini tidak menaruh curiga karena aku ngotot terkait Mahakarya.

"Oh ya, aku bakal izin beberapa jam sehari. Biasa, buat pumping." Dini menunjuk peralatan pumping yang disimpan di bawah meja.

Aku mengangguk. Bukan masalah besar.

Begitu Pak Rudy datang, dia hanya tersenyum sekilas sebelum menghilang ke dalam ruangannya. Rasanya tidak ada yang berubah, meski saat ini statusku tidak lagi sebatas sekretarisnya.

Aku mengutuk diriku sendiri. Apa yang aku harapkan? Berharap Pak Rudy memperlakukanku sebagai seorang istri di hadapan Dini? Harapan yang bodoh. Jelas-jelas pernikahan ini tersembunyi.

Tidak ingin terseret dalam pikiran yang tak menentu, aku pun fokus pada pekerjaan. Pak Rudy berbagi informasi yang harus kupelajari terkait Mahakarya. Namun, semuanya hanya dari sudut pandang luar. Aku sama sekali buta terhadap apa yang terjadi di dalam tubuh Mahakarya. Om Danu tidak pernah berbagi apa pun denganku, dia meninggalkanku dalam kegelapan.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang