39. While You Were Sleeping

34.1K 1.6K 34
                                    

Malam pertama tanpa Pak Rudy. Aku benar-benar merasa kesepian. Baru kali ini aku sangat merindukan seseorang. Percuma menyibukkan diri sepanjang hari, karena begitu aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, mataku sulit untuk dipejamkan.

Terlebih, kedatangan Mama dan kejadian tadi membuatku tidak bisa tenang. Ada yang mengancamku. Bukan hanya bualan semata. Aku sudah mengalaminya langsung.

Aku merasa serba salah. Semua posisi kucoba, tapi tidak ada yang bisa membuatku tenang. Aku bergerak gelisah di tempat tidur. Baru kali ini aku menyadari tempat tidur ini begitu besar untuk kutempati sendiri.

Tanganku refleks meraih handphone yang terletak di nakas. Tubuhnya memang tidak ada di sini, tapi aku yakin suaranya bisa menenangkanku.

Pak Rudy mengangkat telepon di dering ketiga.

Lily, everything’s okay?” tanyanya.

Aku terdiam selama beberapa saat, sedikit menyesali tindakan yang kuambil tanpa berpikir panjang.

“Lily?”

“Yeah, aku baik-baik saja.”

Di seberang sana, aku mendengar Pak Rudy menarik napas lega. “Kamu belum tidur? Ini sudah malam.”

“Enggak bisa tidur,” bisikku.

Pak Rudy tertawa kecil. “Jadi, kamu menelepon saya karena kangen dan enggak bisa tidur?”

Aku mengangguk mengiyakan jawabannya meski Pak Rudy tidak bisa melihatku.

“Aku sudah lupa rasanya tidur sendiri,” jawabku.

Yeah, me too.”

“Tempat tidur ini terlalu besar buatku sendiri,” lanjutku.

“Saya ganti ke video call, oke?”

Tanpa menunggu balasanku, panggilan itu berubah menjadi video call. Aku berbaring menyamping dan menerimanya. Di seberang sana, Pak Rudy juga berbaring menyamping menghadapku.

Dia terasa begitu nyata. Keberadaannya di ruangan ini sangat nyata. Padahal hanya ada suaranya saja.

Aku refleks tersenyum saat melihat wajahnya.

I can see that. Tempat tidur itu lebih pas dipakai berdua.”

Senyumku makin lebar. Hanya dengan mendengar suaranya dan melihat wajahnya bisa memberikan ketenangan untukku. Bagiku, itu sudah cukup. Aku masih harus menahan rindu sebelum bisa merasakan kehadirannya secara nyata, tapi setidaknya ini sudah cukup.

Rough day?” tanyanya.

Aku sontak menghela napas panjang. Terlambat untuk mengontrol perubahan ekspresiku. Pak Rudy mengerutkan kening, menyadari ada yang mengganjal pikiranku.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tidak ingin membebaninya, tapi bukankah ini tujuanku meneleponnya? Aku membutuhkannya sebagai tempat bercerita.

Tanpa bisa dicegah, dari mulutku keluar semua cerita tentang Mama. Pak Rudy mendengarkannya dengan saksama. Dia tidak menyela ceritaku sampai aku selesai. Untuk sementara, aku menyembunyikan soal mobil yang hampir menabrakku. Cerita Mama saja sudah membuatnya khawatir. Aku tidak ingin memberikan beban lebih banyak.

“Putra menemui saya,” tukas Pak Rudy setelah aku selesai bercerita. “Dia tidak ingin ada saingan, itu alasannya ingin menguasai perusahaanmu. Begitu dia memilikinya, akan lebih mudah baginya untuk menghancurkannya.”

“Kenapa? Maksudku, dibanding perusahaannya, perusahaanku enggak ada apa-apanya.”

Pak Rudy mengangguk. “Dari hasil informasi yang diberikan Pak Hasan, ayahmu pernah memenangkan tender yang sangat ingin dimiliki Putra. Dia sudah menyuap banyak, keluar banyak uang, tapi kalah dari ayahmu. Perusahaannya sempat goyah, karena kasus itu mencapai telinga KPK dan membuat dia harus berurusan dengan hukum.”

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang