Rudy
"Kopi?"
Aku menegakkan tubuh, sebelum menerima kopi yang disodorkan Ibel. Setelah semalaman tidur di kursi ruang tunggu rumah sakit yang tidak nyaman, aku baru menyadari tubuhku rasanya mau rontok.
Ibel membuka mulut, tapi aku mendahului. "Gue enggak akan ke mana-mana."
Semalam, Lily membuatku panik. Tiba-tiba, dia mengalami kejang. Selama melihat dokter berusaha menstabilkan keadaannya, aku tidak bisa tenang. Beragam kemungkinan terburuk melintas di benakku, sekalipun aku memaksa diri untuk memikirkan hal lain.
Aku memaksa otakku hanya mengingat hal-hal yang membuatku bahagia saat bersama Lily. Sambil berharap kekuatan pikiran bisa membuat Lily tersentuh dan menyadari, dia sudah pergi begitu lama.
Hampir Subuh ketika dokter memberi tahu kondisi Lily mulai stabil, tapi dia masih dalam pengawasan ekstra. Beruntung semalam aku kembali ke rumah sakit, bukannya pulang ke apartemen untuk melanjutkan beristirahat, seperti yang disuruh Dimas dan yang lainnya. Meski kehadiranku di rumah sakit tidak memberikan keuntungan apa-apa, tapi aku ingin ada di sana untuk Lily.
Saat Lily akhirnya membuka mata.
Aku bangkit berdiri ketika dokter memasuki ruang perawatan Lily. Aku tidak boleh masuk, meski itu yang sangat kuinginkan. Sebagai gantinya, aku hanya bisa menatap dari balik kaca, melihat dokter memeriksa Lily, berharap bisa menangkap perubahan yang diberikan tubuh Lily.
Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya, tidak ada perkembangan berarti. Namun, aku masih memegang harapan bahwa Lily akan sadar. Sekecil apa pun harapan itu.
"Can I see her?" tanyaku.
Dokter Ridwan menatapku sambil mengangguk. "Lima belas menit."
Lima belas menit sudah lebih dari cukup.
Aku memakai baju pelindung khusus sebelum memasuki ruangan Lily. Detak jantungnya terdengar normal, dari monitor dan kabel-kabel yang terhubung ke tubuhnya. Dari jarak dekat, aku mengamati Lily. Memar dan bengkak di tubuh serta wajahnya masih ada, meski sudah mulai berkurang. Namun, itu bukan masalah.
She's still my beautiful Lily.
Aku menggenggam tangannya. "Sayang, aku datang lagi." Aku tidak tahu apakah Lily mendengarku atau tidak, aku ingin terus bicara dengannya. Berharap akan ada masanya Lily membalas ucapanku.
Aku menundukkan wajah hingga tenggelam di lengannya. "I'm sorry." Ucapanku terdengar lirih. "Seharusnya aku melindungimu, tapi aku justru membuatmu seperti ini."
Tatapanku beralih ke wajahnya. "Anak kita..." Ini kali pertama aku menyuarakannya dengan lantang di depan Lily. "Aku mau kamu tahu kalau aku bahagia begitu mendengar kabar itu. Aku memang pernah berkata aku tidak ingin punya anak, tapi itu sebelum bertemu kamu. Sayang, you change me to be a better man."
Aku mengecup punggung tangannya. "Aku minta maaf tidak bisa melindungi anak kita."
Kalau saja bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa lalu dan mencintai Lily secara terang-terangan, menyadari perasaanku lebih cepat lagi.
Namun, kenyataan tidak pernah seindah khayalan.
"Aku cinta kamu, Lily. Aku berharap kamu mendengarkanku, dan memutuskan untuk kembali kepadaku."
Seakan mendengar pengakuanku, aku merasakan jemari Lily bergerak. Aku tersentak saat melihat jarinya balas menggenggam tanganku. Meski lemah, tapi aku yakin dia baru saja menggerakkan jarinya.
Seperti orang kesetanan, aku memanggil Dokter Ridwan. Sekalipun jauh di dalam hati, ada kekhawatiran bahwa ini hanya khayalanku saja. Aku begitu menginginkan Lily segera pulih, sehingga tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...