31. Di Kandang Musuh

46.2K 1.6K 55
                                    


Jantungku rasanya mau copot. Sejak pagi ini, aku tidak bisa mengontrol debaran jantungku.

Ini akan jadi hari besar di hidupku.

Hari di mana aku melawan untuk mendapatkan hak yang dirampas dari tanganku.

"Saya bisa menemanimu."

Aku menggeleng. Jawabanku selalu sama setiap kali Pak Rudy menawarkan diri untuk menemaniku.

"Pak Rudy sendiri yang bilang lebih baik aku datang sendiri."

Pak Rudy menarik tanganku dan membawaku untuk duduk di pangkuannya. "Itu sebelum saya tahu kamu akan sepanik ini."

Hari ini Om Danu mengadakan rapat pemegang saham. Tentu saja, dia tidak mengundangku. Aku tahu dari Om Cokro. Kata Om Cokro, Putratama akan hadir.

Pak Rudy curiga Om Danu akan mengambil keputusan hari ini. Apalagi aku tidak dilibatkan, sehingga dia yakin Om Danu melakukan hal ilegal. Dia yang mendorongku untuk datang ke rapat itu, tiba-tiba, untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Tadinya aku tenang karena ada Om Cokro. Namun Om Cokro masih dirawat sehingga kehadirannya hanya sebatas video call.

Pak Rudy mencium bibirku lama. Jika dia bermaksud mengalirkan ketenangan kepadaku, dia berhasil. Aku memejamkan mata dan menikmati ciumannya, perlahan merasakan kegelisahanku luruh.

"Kamu pasti bisa. Apa pun yang terjadi, saya ada di speed dial kamu."

Menyadari hal itu saja membuatku sedikit lega. Aku tidak sendiri. Ada Pak Rudy bersamaku.

In spirit.

"Kalau kamu rasa enggak bisa, telepon saya." Pak Rudy menatapku lekat-lekat dan baru beranjak ketika aku mengangguk.

Aku berangkat ke kantor Papa dengan jantung berdegup kencang. Ingatanku mencoba mengenang masa kecilku dulu, saat aku begitu bersemangat mengunjungi kantor Papa. Aku menyukai ruangan kerja Papa. Enggak sebesar ruang kerja Pak Rudy tapi hangat dan nyaman.

Darahku mendidih karena ruangan itu sekarang ditempati Om Danu.

Aku menarik napas panjang saat melihat gedung yang menjulang di hadapanku.

"Aku pasti bisa."

Setelah mengirim pesan singkat ke Pak Rudy untuk memberi tahu aku sudah sampai, aku melangkah masuk.

Sama seperti di kedatangan pertamaku, aku disambut resepsionis yang langsung kaget saat melihatku. Setelah aku melewatinya, aku melihat dia menelepon seseorang.

Bagus, dia pasti memberi tahu Om Danu soal kedatanganku.

Aku membuka pintu ruang meeting keras-keras, membuat semua mata tertuju kepadaku. Om Danu langsung menghunuskan tatapan penuh kebencian kepadaku. Di sampingnya ada Mama, yang juga menampakkan aura bermusuhan. Ada Sukamto dan mata keranjangnya yang menyebalkan.

Di layar ada proyektor yang menunjukkan Om Cokro terbaring di rumah sakit. Beliau tersenyum hangat saat melihatku.

Aku menyisiri setiap wajah di ruangan ini satu per satu, mencoba mengenali mereka. Ada satu sosok yang membuatku berjengit ketakutan.

Putratama. Akhirnya aku melihat sosoknya.

Dia sangat berbeda dengan yang selama ini kubayangkan. Awalnya kupikir dia punya tubuh tinggi besar dengan cambang lebat yang membuatnya terlihat menakutkan. Yang ada di hadapanku saat ini adalah pria berwajah teduh berusia sekitar 40-an dengan lesung pipi yang muncul saat dia tersenyum. Meski wajahnya terlihat bersahabat, matanya tidak bisa berbohong. Dia seperti medusa, siap menghancurkan siapa saja yang berani menatapnya.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang