53. Together Again

32.4K 1.7K 18
                                    

Hidup memang misteri. Dulu, aku tidak akan pernah membayangkan akan menjalani kehidupan seperti ini. Aku ingin jatuh cinta dan menjalin janji sehidup semati dengan pria yang kucintai, tak pernah terpikir bahwa jalan untuk bertemu pria yang kucintai akan penuh liku.

Aku menggelung di pelukan Pak Rudy, senyum tidak pernah hilang dari wajahku. Tubuhnya terasa hangat saat memelukku. Napasnya begitu teratur, seirama dengan napasku.

Aku mungkin akan kehilangan dia, tapi bukan karena dia tidak mencintaiku. Jika aku bertahan dalam asumsi negatif yang menguasai pikiranku sedikit lebih lama, aku akan kehilangan Pak Rudy.

Semua pikiran negatif itu seperti racun yang menggerogoti tubuhku, sedikit demi sedikit. Bodohnya aku membiarkan diriku tenggelam dalam semua asumsi itu. Jika aku memberi kesempatan kepada diriku sendiri untuk melihat dengan mata terbuka dan pikiran jernih, maka tidak akan ada tempat untuk semua asumsi buruk itu.

Pengakuan Pak Rudy hanya membuatku ikut dilanda bersalah. Aku menuduhnya tanpa tahu pergulatan batin yang dirasakannya. Semua yang kulakukan hanya membuat dia semakin tenggelam dalam perasaan bersalah.

Ini bukan salahnya. Semua yang terjadi padaku berada di luar kuasanya. Aku tidak pernah menyalahkannya, dan aku berharap Pak Rudy segera mengusir perasaan bersalah itu. Aku ingin meninggalkan semuanya di belakang agar bisa melangkah maju tanpa ada rantai yang membelit kakiku dan memaksa untuk tertinggal di masa lalu.

"Kamu lucu banget waktu kecil."

Aku mendongak untuk menatap Pak Rudy. Dia tengah melihat album foto masa kecilku. Semalam, aku mengeluarkan album foto itu dari kotak penyimpanannya karena ingin mengenang kebersamaanku dan Papa.

Pak Rudy bersikeras ingin melihat foto itu, meski aku tidak ingin. Bisa-bisa dia jadi kehilangan perasaannya kepadaku ketika melihatku saat masih jelek.

Aku mencoba menyingkirkan album foto itu, tapi Pak Rudy menahannya. Di sana ada fotoku sewaktu berumur lima tahun dalam kostum pohon yang sangat jelek.

"Ini acara apa?"

"Pementasan waktu TK. Aku mau jadi pemeran utama, tapi karena kaku makanya aku disuruh jadi pohon aja." Aku menjawab cepat.

"You're so cute."

Aku mengernyitkan hidung. Sekali lagi, aku mengerang sewaktu Pak Rudy berpindah ke fotoku sewaktu SMP. Wajah berminyak yang belum mengenal perawatan, gigi dengan behel tapi aku sangat pede tersenyum lebar.

"Jelek gitu, lucu apanya."

"Hei, jangan ngomong begitu. Kamu lucu, bukan jelek," bantahnya.

Aku memutar bola mata, tidak ingin membantahnya karena percuma saja. Lagipula, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada bagian hatiku yang menghangat saat mendengar ucapannya.

"Semua foto ini..."

Aku mendongak karena Pak Rudy tidak menyelesaikan ucapannya. Wajahnya terlihat keras, dengan kerutan di keningnya. Seolah dia sedang memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya.

"Enggak ada Mama?" tebakku.

Tebakanku benar.

"Cuma ada kamu dan Papa."

Aku membentuk sulur abstrak di dadanya, sekaligus mengingatkan diriku sendiri agar tidak terlarut dalam perasaan sedih yang tiba-tiba menguasai.

"Sejak kecil, aku memang enggak dekat dengan Mama. Aku lebih sering bareng Papa karena jujur aja, aku enggak nyaman bareng Mama. Baru setelah dewasa aku sadar kalau sejak awal Mama memang enggak pernah mempedulikanku," jawabku sembari menahan diri agar tidak larut dalam pedih yang menguasai.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang