19. Ancaman Pertama

39.2K 1.9K 41
                                    

Hidupku tidak lagi tenang setelah mendengar penuturan Pak Rudy. Kewaspadaanku meningkat. Alhasil aku malah celingak celinguk di depan kos sambil memperhatikan sekeliling. Aku tidak mau Om Candra atau siapa pun menangkapku.

Harusnya aku menunggu Ibel karena dia sudah berjanji akan menemaniku ke kos. Namun Ibel ada pekerjaan. Aku enggak mungkin dua hari memakai pakaian yang sama, jadi tanpa sepengetahuan Ibel, aku kembali ke kos. Hanya sebentar. Begitu selesai packing, aku kembali ke apartemen Ibel.

Suasana depan kos ramai. Tidak biasa-biasanya ada yang berkumpul di teras depan. Kos itu terdiri dari dua lantai dengan pintu kamar menghadap ke teras. Aku bahkan tidak akrab dengan teman satu kos karena tidak ada common room sebagai tempat berinteraksi.

Kerumunan itu ada di depan kamarku. Aku mengenali Mang Ujang dan Didit, penjaga kos. Aku juga mengenali perempuan berambut merah itu sebagai teman sebelah kamarku.

"Nah, ini yang punya kamar." Mbak berambut merah menunjukku sehingga semua mata tertuju kepadaku.

"Mbak pesan makan?" Tanya Mang Ujang.

Aku menggeleng. Di bench yang juga berfungsi sebagai rak sepatu di depan kamar, aku melihat bungkusan makanan yang sudah terbuka. Sebagian isinya berceceran ke teras. Tak jauh, aku melihat seekor kucing tergolek tak berdaya dengan busa keluar dari mulutnya. Kucing liar tanpa pemilik, tapi dia suka main di sini karena anak kos sering menyediakan makanan kucing.

Di sampingnya ada sepotong ayam yang sudah habis setengah.

"Kucingnya kenapa?" Tanyaku.

"Mati keracunan." Didit menjawab. "Dia nyuri makanan Mbak."

Serasa ada yang menghantam jantungku. Namun aku segera mengenyahkan pemikiran buruk tersebut. Tidak baik langsung berasumsi terlalu dini.

"Makanan yang mana?"

"Tadi ada yang anterin makanan buat Mbak," sahut Didit. "Saya taruh di kursi, kayak biasa."

Aku memang suka memesan makanan. Kalau sudah sampai dan aku masih di jalan, Mang Ujang atau Didit menyimpannya di kursi ini.

Masalahnya hari ini aku tidak memesan makanan apa pun.

"Gofood Pak?"

"Enggak tahu. Dia pakai motor Beat jaket hitam. Mang kira emang Mbak yang pesan, enggak nanya juga."

"Terus, makanannya dicolong kucing dan kucingnya mati?"

Si rambut merah mengangguk. "Gue dokter hewan. Gue lihat waktu kucing ini muntah-muntah terus mulutnya berbusa. Gue terlambat nyelametin."

"Dia keracunan makanan ini?" Tegasku.

Perempuan itu menatapku prihatin. "Tergantung racunnya. Kalau memang dia mati karena makanan ini, artinya racunnya kuat banget. Bisa juga makanan lain, kita tahu kucing ini suka nyolong makanan di rumah lain."

Kemungkinan kedua itu tak lantas menenangkanku.

Kalau kejadian ini terjadi sebelum aku tahu ada bahaya yang mengancamku, aku akan percaya dengan kemungkinan tersebut. Namun sekarang, kemungkinan kalau target racun itu adalah aku terdengar lebih masuk akal.

"Mang, tolong makamin kucingnya. Kayaknya dia makan sembarangan makanya bisa keracunan. Sekalian tolong buangin sisa makanannya juga," ujar si rambut merah.

Mang Ujang mengangkat kucing malang yang tak berdosa itu, sementara Didit menyapu teras. Aku masih bergeming di tempat, kesulitan mencerna apa yang sedang terjadi.

"Are you okay?" Si rambut merah membuyarkan lamunanku. Dia menatapku prihatin. Aku yakin dia tahu bahwa kucing itu mati karena racun yang ditaruh di makananku.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang