Rudy
Berjarak beberapa langkah di belakang Lily, aku mengikutinya. Lily tengah berkeliling rumah ini. Ekspresi wajahnya begitu berbinar-binar saat menatap seisi rumah.
Rumah ini tidak begitu besar. Satu lantai dengan tiga kamar dengan gaya modern minimalis yang didominasi kaca sehingga terlihat terbuka. Aku tidak mengerti mengapa membuat banyak kamar, mengingat rumah ini jarang ditempati.
Hanya ada dua warna di rumah ini, abu-abu dan putih. Terkesan dingin, tapi sangat mencerminkan keadaanku. Aku ingin membuat rumah yang hangat, tapi alam sadarku malah menciptakan rumah yang kosong dan dingin.
Butuh waktu dua tahun untuk membangunnya. Aku mengerjakannya sendiri, padahal aku punya tim profesional yang bisa diperkerjakan untuk menyelesaikan rumah ini dalam waktu singkat. Namun, aku mempercayai diriku sendiri. Di sela waktu yang kumiliki, aku menyelesaikannya.
Sejak kecil, aku tidak pernah punya rumah. Berpindah kontrakan saat masih tinggal bersama ibu kandungku tentu tidak membuatku merasa punya rumah. Begitu juga dengan panti asuhan, meski sebagian besar masa kecil dan dewasaku dihabiskan di sana. Itu bukan rumah.
Hal terdekat yang kumiliki sebagai rumah adalah apartemen. Namun, belum sepenuhnya. Apartemen itu tak lebih dari persinggahan sementara.
Meski rumah ini sudah layak ditinggali, tak lantas membuatnya terasa seperti rumah. Masih ada yang kurang meski aku tidak tahu apa.
"Aku yang enggak bisa masak tiba-tiba jadi pengin belajar masak kalau punya dapur begini." Lily berseru dari kitchen set. Dia menyisiri table top dengan ujung jarinya.
Lily berjinjit untuk membuka kabinet atas. Mataku tak bisa beranjak dari tubuhnya.
Aku tidak tahu, dari mana dorongan untuk membawa Lily datang ke rumah ini? Dia memang istriku, tapi bukan berarti aku punya alasan untuk membawanya ke sini. Pernikahan ini hanya untuk sementara.
Keinginan untuk membangun rumah jadi alasan aku ingin mengakuisisi Mahakarya. Aku pernah mencobanya, tapi gagal. Mungkin karena pada dasarnya aku tidak mengerti arti kata rumah.
Berbeda denganku, Lily sangat mengerti. Bahkan kehadirannya mampu membuat rumah ini terasa hidup. Belum lima menit dia di sini, tapi rasanya seolah dia memiliki rumah ini.
Dia tidak merasa canggung. Seolah Lily terlahir untuk tinggal di sini.
Aku mengusap wajah. Belakangan, Lily selalu menyita perhatianku. Dia tidak hanya menginvasi tempat tidurku, tapi juga hati dan pikiranku. Dia selalu membuatku cemas.
Terlebih saat aku melihatnya masuk ke dalam mobil Putratama. Aku harus memacu mobil cepat-cepat untuk menyusulnya. Si Bajingan itu bisa menyakiti Lily. Namun, yang membuatku kesetanan adalah pemikiran bahwa Lily akan meninggalkanku untuk Putratama. Seperti yang dilakukan Mariana dulu.
Membayangkan seseorang memiliki Lily membuatku meradang. Aku tidak bisa terima. Itulah yang membuatku begitu membabi buta saat bercinta dengan Lily. Aku ingin mengklaim dirinya sebagai milikku.
"Ini kamar siapa?"
Pertanyaan Lily mengembalikanku ke masa sekarang. Dia menatapku dari pintu kamar yang terbuka.
"Siapa saja."
Lily tersenyum. "View-nya bagus. Aku boleh tidur di sini?"
"Kamu tidur di tempat tidur saya," balasku.
"Di mana?"
Aku menunjuk pintu kamar utama. Lily berlari kecil menuju pintu itu dan membukanya.
Sebuah pekikan tertahan keluar dari mulutnya. "The view is to die for."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...