18. The Way Out

42.4K 1.9K 45
                                    

Ibel mendekapku erat setelah aku menceritakan semuanya. Dia meminta maaf berkali-kali karena tidak ada untukku di saat aku benar-benar membutuhkannya.

"Gue harus gimana, Bel?"

Ibel mengusap keningnya. "Gue juga enggak tahu. Tapi, gue bisa pastiin lo enggak akan pernah sendiri. Gue mungkin enggak akan bisa bantu lo melawan Om Danu, tapi gue enggak akan biarin lo sendiri."

Aku yakin dengan janji Ibel. Menurutku, janji itu sudah cukup. Dengan menegtahui bhawa aku tidak sendiri, cukup membuatku semakin yakin bahwa aku mampu melawan Om Danu.

"Lo hati-hati, ya. Nanti gue temenin ke kost, ambil barang-barang lo, dan lo tinggal di sini. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat bantu lo sementara ini, sampai kita ketemu jalan keluar yang lain." Ibel berkata tegas.

Aku tidak ingin merepotkan Ibel, tapi aku juga tidak bisa menolak.

Dering ponsel membuatku terlonjak. Setiap kali ada telepon masuk, aku langsung dilanda ketakutan. Aku mengintip takut-takut, dan menarik napas lega begitu tahu yang menelepon adalah Pak Rudy.

Bukan Mama, Om Candra, atau Om Danu.

"Halo, Pak."

"Kamu masih di apartemen temanmu?" tanya Pak Rudy.

"Masih."

"Kamu tunggu di depan lift, kamu ke tempat saya."

Aku menatap Ibel yang balas menatapku dengan kening berkerut.

"Ada apa, Pak?"

"Ada yang harus kita bahas. Saya sudah di basement, saya tunggu."

Tampa menunggu jawabanku, telepon itu terputus.

"Bos lo mau apa?"

Aku menggeleng. "Katanya ada yang mau dibahas. Menurut lo, ini ada kaitannya dengan Om Danu?"

Ibel mengangkat pundak, kerutan di keningnya semakin dalam ketika dia berpikir.

Aku bangkit berdiri. "Gue ke tempat dia dulu, mau tahu apa yang dia mau bahas."

Ibel mengangguk. Dia menyerahkan keycard kepadaku, sekaligus meyakinkan agar aku membawa kunci itu ke mana-mana sehingga punya tempat untuk melindungi diri.

Pak Rudy menungguku di dekat lift. Tanpa suara, dia membawaku ke apartemennya yang berada tiga lantai di atas unit Ibel.

Aku kembali menempati sofa yang sama seperti semalam. Belum sampai 24 jam, tapi rasanya sudah sangat lama. Aku benar-benar lelah. Begitu urusan dengan Pak Rudy selesai, aku ingin tidur.

"Saya baru mendapat kabar terkait perusahaanmu. Kamu masih menjadi pemegang saham terbesar di sana?" Pak Rudy tidak membuang waktu dengan berbasa basi.

Aku mengangguk. Papa mewariskan saham miliknya kepadaku.

"Kalau Danu ingin rencananya berjalan lancar, yaitu menjual perusahaamu kepada Putratama, semua pemilik saham harus satu suara," lanjut Pak Rudy.

"Ada yang salah dengan Putratama?" Aku hanya mengenalnya sebagai salah satu saingan bisnis Pak Rudy, tidak tahu banyak tentang pengusaha itu.

"Kalau kamu mau melihat kerja keras ayahmu hancur dengan mengenaskan, kamu bisa mempertimbangkan untuk menjual bagianmu pada si tua bangka itu," jawab pak Rudy dingin.

Aku mengerjapkan mata, berusaha keras mencerna penjelasan Pak Rudy.

"Saya tahu alasan Csandra ada di kantormu tadi siang."

Ucapan Pak Rudy kembali membuatku terpaku. Tidak butuh penjelasan lebih lanjut, aku bisa membaca apa yang ingin disampaikan Pak Rudy lewat sorot matanya.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang