Rancangan Rencana

86 16 4
                                    

Usai turun dari motor, Erlangga berdiri menatap sekolahnya dari depan gerbang.

"Masalah kali ini sedikit lebih berat. Tapi aku gamau nyusahin bang Jon yang lagi terpuruk di rumah,"

Erlangga perlahan mengangkat kakinya lalu mulai mengambil langkah pertama.

Setiap langkahnya, Erlangga mencoba menganalisa apa yang kemungkinan akan terjadi. Dengan nafas terengah-engah, otaknya terus membuat puluhan simulasi apa yang akan dari banyaknya pilihan yang dia ambil. Saat tiba di depan pintu kelasnya, Erlangga pun berhenti berfikir.

"Oke, kita mul-"
"Erlangga!!"

Erlangga terkejut karna Toro dan Jaya tiba-tiba menghampirinya dengan wajah sedih.

"Gila!! Elu sakit apa? Gua, Jaya sama Obi pas balik ke rumah elu, tapi rumah elu kosong. Bang Jon juga di kirimin pesan ga di bales," kata Toro cemas.

"Gua sih nebaknya elu ikut kondangan," kata Jaya santai.

"Hehehe iya bener. Gua ke kondangan soalnya takut sendirian," kata Erlangga terkekeh.

Erlangga menoleh ke arah Obi yang masih duduk di mejanya.

"Dia pura-pura ga perduli tau," bisik Toro meledek.

Erlangga menghela nafas lalu dia berjalan ke arah mejanya.

"Hai Obi," sapa Erlangga sambil meletakkan tasnya di bangku.

"Iya. Udah baikan?" Tanya Obi sambil bermain game di HP-nya.

"Udah. Oh iya Obi, kamu-"
"Erlangga!!"

Perhatian semua orang di kelas tertuju pada Bu Tati yang tiba-tiba memanggil Erlangga.

"Iya Bu?" Tanya Erlangga.

Obi yang masih menunduk, menggenggam erat tangannya, Bahkan sampai menggigit bibirnya seakan dia sedang menahan emosi.

"Ikut ibu ke kantor," katanya.

Erlangga menelan ludah lalu dia melihat semua teman-temannya memperhatikannya dengan wajah lesu.

Meski semua ini sudah dia tebak, tapi tetap saja rasanya sangat menakutkan.

Erlangga berlari kecil mendekati Bu Tati lalu dia pergi bersama walikelas nya itu.

"Ada apa Bu? Bang Jonathan bukannya udah ijin kemaren saya ga masuk?" Tanya Erlangga.

"Iya, tapi bukan itu masalahnya," kata Bu Tati.

Sebelum masuk ke ruang guru, Bu Tati menepuk pundak Erlangga.

"Denger. Apapun yang terjadi di dalam nanti, kamu harus sabar, tenang, amati semuanya dan cari sela untuk keluar dari masalah ini. Ngerti?" Tanya Bu Tati.

Mata Erlangga bergetar lalu dia mengangguk.

Bu Tati tersenyum lalu dia kembali berdiri.

"Ibu yakin kamu pasti bisa. Udah siap?" Tanyanya lagi.

"Iya Bu," jawab Erlangga tegang.

Saat pintu ruang guru terbuka, hampir semua guru di sekolah ini hadir.

Bukan hanya mereka, Tapi Tiara dan Anggi yang merupakan ketua kelas dan wakil ketua juga ikut hadir di ruangan itu.

"Erlangga Wihara, betul?" Tanya kepala sekolah yang duduk bersama dengan guru lain di meja berlatar U.

"Iya pak," katanya mengangguk.

"Silahkan duduk,"

Erlangga menoleh ke arah meja kosong di dekatnya lalu dia duduk disana. Saat duduk, Erlangga juga sempat menoleh ke arah Tiara dan Anggi. Tiara tampak tidak ingin melihatnya karna merasa bersalah.

"Erlangga.. kamu tau kenapa kamu ada disini?" Tanya kepala sekolah yang terlihat masih muda.

"Ngga pak. Emang ada apa?" Tanya Erlangga balik.

"Apa benar Erlangga tidak tau?" Tanya kepala sekolah ke arah Tiara.

"Kemungkinan besar iya pak. Dia tidak punya HP, terus kemarin juga dia tidak masuk karna sakit," kata Tiara.

"Kamu mau tau masalah kamu apa?" Tanya kepala sekolah ke arah Erlangga.

Erlangga mengangguk pelan.

"Kamu terlibat kasus serius yang memungkinkan kamu akan di keluarkan dari sekolah jika kamu memang terbukti bersalah," ucap Bu Tati mewakili.

Di saat Tiara bersedih, Anggi yang ada di sebelahnya justru menyeringai lebar.

Erlangga terbelalak mendengarnya.

"Nak Anggi, tolong matikan lampunya," pinta kepala sekolah.

Anggi mengangguk lalu pergi ke arah tombol lampu untuk mematikannya.

Dengan penerangan yang kurang, kepala sekolah menunjukkan sebuah foto Erlangga yang sedang di cium di pipinya oleh seorang murid perempuan. Wajah murid perempuan itu tidak terlalu jelas karna kamera mengarah dari posisi samping, tepat dari arah pipi Erlangga yang di cium. Jadi yang terlihat hanyalah rambut belakangnya saja.

"Itu kamu kan?" Tanya kepala sekolah.

Dengan mata gemetar, Erlangga mengangguk pelan.

Usai kepala sekolah mematikan proyektor nya, Anggi pun kembali menyalakan lampu.

"Maaf pak. Karna kasusnya berat, apa saya ga boleh manggil wali saya dulu?" Tanya Erlangga cemas.

"Kami sudah bahas itu. Kamu kan tidak punya orang tua, dan wali kamu bilang menyerahkan semuanya ke Bu Tati," jelas kepala sekolah.

"Bu Tati? Tapi itu kan namanya ga adil?" Protes Erlangga.

"Ibu jamin, ibu bakal berlalu adil selama semuanya berlangsung," ucap Bu Tati berjalan lalu berdiri di sebelah Erlangga.

Erlangga yang merasa panik pun melihat Bu Tati tanpa gentar berdiri di sisinya, menghadap ke arah para guru yang ada di hadapan mereka.

Hampir tidak ada celah. Mau sebanyak apapun Erlangga berfikir, tidak ada jalan dari masalah yang sedang dia hadapi ini.

"Ga.."

Erlangga yang gemetar ketakutan, tersentak karna mendengar bisikan Bu Tati. Erlangga perlahan mengangkat kepalanya melihat ke arah Bu Tati yang masih menatap lurus ke depan.

"Ingat apa yang sering Abang Jonathan kamu bilang?" Tanya Bu Tati.

Nafas Erlangga yang terasa berat perlahan menjadi tenang. Erlangga berkedip pelan, dan kini dia berani melihat ke depan.

"Selalu ada jalan di setiap masalah," ucap Erlangga.

Bu Tati tersenyum lalu dia terbatuk kecil.

Bertepatan dengan suara bel sekolah bunyi yang menandakan di mulainya jam pelajaran, sidang kasus Erlangga pun di mulai.

Satu menit pertama setelah suara bel sekolah berhenti, semua orang di ruangan itu memiliki pemikiran mereka masing-masing.

PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang