14

3K 147 6
                                    

Pukul dua belas kurang sepuluh menit, tengah malam, Naleah sampai di apartemen Josh. Tidak ada bunga ditangannya namun yang ada hanyalah sebungkus Martabak spesial ekstra keju dan coklat pakai wijsman.

Entah kenapa dia bisa terpikirkan membeli martabak sementara lelaki itu meminta bunga.

Lagi pula toko bunga mana yang buka jam segini? Toko bunga horor? 

Dia juga bukan orang kaya yang bisa membuka toko yang sudah tutup seenaknya.

Naleah melirik jam di ponsel dan melihat bahwa waktu tinggal sedikit lagi. Tinggal tujuh menit lagi sebelum pergantian hari namun dia masih harus menunggu lift.  Buru-buru dia keluar dari dalam mobil, berlari ke arah lift dan memperbaiki riasan wajah sembari menunggu kotak besi itu datang.

Akhirnya, lift itu terbuka dan dia masuk. Secepatnya dia menekan tombol supaya benda itu tertutup namun sebuah tangan menahannya untuk kembali terbuka.

Hans.

Sedang apa dia disini? Apa dia juga mau memberikan kejutan kepada temannya itu? Bisa saja. Tapi kenapa sekarang?

Naleah melihat Hans menekan lift satu lantai di bawah lantai apartemen Josh dan mereka tetap diam seakan-akan tidak mengenal satu sama lain. 

Benda itu bergerak cepat di bangunan berlantai tujuh puluh ini. Beberapa kali berhenti untuk mengangkut penumpang hingga lift yang sepi dan lapang kini terasa sesak.

Di lantai nomor empat puluh, bukanya turun sendirian, Hans menarik tangannya keluar dengan cepat sampai dia tidak sempat untuk mengelak. Lagian mau mengelak pun susah karena tempat itu sempit dan malu jadi bahan tontonan penghuni apartemen. 

Setelah mereka berdua saja di lorong dan lift tertutup, Hans melepaskan tangannya setelah Naleah menariknya kasar sedari tadi.

"Mampir dulu ketempat Papa" Ujar lelaki itu singkat. Ini adalah perintah yang kedengaran menjengkelkan. 

"Untuk apa?"

Waktunya mepet dan dia tidak mau membuang waktu disini bersama lelaki ini. Waktunya terlalu berharga untuk di buang bersama Hans. Melihat lelaki itu yang tidak memberikan dia kue masih membuat dirinya kesal setengah mampus. Sampai kapanpun dia tidak akan memaafkan lelaki tampan sialan ini. 

"Kamu bisa pindah kesini. Apartemen ini dekat ke restoran tempat kamu kerja sekarang"

"Terimakasih untuk tawarannya tapi aku pengangguran"

"Setidaknya apartemen ini lebih bagus dan aman untuk kamu tempati sendirian. Kamu itu perempuan ngapain ngekost di tempat yang enggak jelas begitu?"

"Aku ngakk sekaya itu untuk  bisa tinggal di sini. Dari kecil aku juga sendirian. Jadi udah biasa. Meskipun tempat itu enggak jelas tapi aku nyaman."

"Ini apartemen milik Papa. Semua biaya bulanannya Papa yang atur. Dari pada kosong mending diisi sama kamu."

"Aku ngakk butuh."

"Masuk dulu. Papa mau kasih sesuatu sama kamu"

Naleah melihat jam di ponselnya  sudah menunjukkan pukul dua belas lewat dua. Sialan. 

"Untuk apa aku masuk? Aku udah ada janji"

Josh pasti sudah lama menunggu dirinya di atas. Dan Hans menghambat jalannya. Ini menjengkelkan dan perbincangan mereka membuat dia mulai kehilangan kesabaran. 

"Setelah Papa kasih kamu apa yang harus Papa kasih" Kini Hans menarik tangannya dan memegangi kuat lalu berjalan menyusuri lorong.

"Memangnya apa sih sampai sepenting itu?" Naleah menarik tangannya supaya dia pergi namun Hans tidak mau melepasnya. Bahkan cengkeraman tangannya semakin kuat hingga Naleah meringis. Sakit coi. Ini tangan bukan batu. 

BELUM SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang