Tidak sampai menunggu lusa, Hans dan Naleah kembali ke rumah itu keesokan harinya setelah mereka belanja di pasar dan selesai makan siang.
Awalnya Naleah hanya ingin memberikan bahan makanan berupa stok daging, buah dan sayur namun sekeluarnya mereka dari pasar, yang di bawa ke mobil malah berupa bahan pokok yang cukup banyak.
Ada beras ukuran 25 kg dua karung, gula, tepung, susu, telur, garam, bumbu dapur kering, buah-buahan sampai sampo, sabun dan kebutuhan pokok lainnya pun dia beli.
Dia hanya memilih saja sementara Hans lah yang membayar semua itu.
Lelaki itu tidak komplain meskipun biaya yang dia keluarkan sampai dua kali gaji Naleah di restoran.
Untunglah saat mereka berkunjung siang itu, langit mendung tanpa hujan dan istri dari pemilik rumah menemani anaknya yang sakit ada di rumah. Sementara sang suami pergi bekerja memetik daun teh.
"Loh, Pak Dokter balik lagi? Katanya besok?" Tanya Ibu tersebut yang terkejut saat mendengar suara mobil mendekat. Sesudah membuka pintu rumah, ia melihat mobil Hans sudah terparkir di depan halamannya yang cupu luas.
"Bagaimana Budi, Bu? Sudah membaik?" Hans menutup pintu mobil dengan cepat lalu masuk bersama Ibu Budi ke dalam rumah.
"Masih lemas, Dok, tapi lebih baik setelah minum obat semalam."
Hans menekan punggung tangannya di kening Budi yang masih tidur. Lalu memeriksa sejenak menggunakan stetoskop juga termometer. "Sudah makan siang kan? Bapak dimana?"
Setelah melakukan pemeriksaan, Hans mengembalikan alatnya ke dalam tas lalu bangkit berdiri. Budi sudah jauh lebih baik dari kemarin. Wajahnya masih pucat namun jauh lebih bertenaga. Ketika dia tanya, Budi sudah mau menjawab. "Bapak kerja, Dok. Budi baru saja makan dan minum obat jadi bisa tidur."
"Saya bawa beberapa bahan makanan mau di taruh dimana, Bu?"
"Aduh, Dok, kenapa repot-repot? Harusnya saya yang bayar biaya pengobatan sama dokter"
"Tidak perlu, yang penting Budi sehat."
"Mau di taruh dimana, Bu?" Tanya Naleah sembari membawa kantung plastik besar berwarna hitam yang isinya adalah bahan makanan kering yang bisa di simpan lama meskipun tanpa di masukkan ke dalam kulkas.
"Rumah saya sempit, Non. Taruh di dalam saja"
Ibu tersebut lari ke dalam rumah, merapikan sudut ruangannya yang penuh dengan hasil bumi lalu meminta agar bahan makanannya di taruh disitu.
Butuh beberapa kali berjalan bolak balik ke mobil dan ke dalam rumah supaya bahan makanan yang mereka bawa untuk Ibu Budi habis.
Sudut rumah yang tadinya penuh hasil panen kini tampak sempit karena ditambah tumpukan beras, sembako, bumbu kering, sabun, deterjen,sampo dan kebutuhan pokok untuk dua tiga bulan kedepan.
Ibunya Budi sampai menangis karena terlalu bahagia dengan kebaikan Hans sampai menyalaminya berkali-kali.
Setelah mereka berbincang, memeriksa Tulus dan makan singkong rebus barulah mereka pamit undur diri. Tak lupa Hans memberikan amplop supaya bisa dipakai untuk jaga-jaga.
Naleah dan Hans yang pulang dari rumah tersebut dengan tersenyum bahagia.
Ini adalah sesuatu yang baru bagi Naleah. Ibunya Budi membekali mereka dengan sekarung ubi kuning karena tidak enak sudah menerima banyak dari mereka.
"Kenapa senyum terus?" Hans mengusap pipi Naleah dengan lembut sambil fokus menyetir di jalan besar.
"Ternyata memberi semenyenangkan ini ya, Pa." Ujar Naleah dengan wajah berseri-seri.