Tiga hari Naleah habiskan di kamar karena dia mengalami demam, batuk, pilek dan muntah-muntah.
Hans sudah memaksa untuk membawanya ke rumah sakit yang ada di kota karena tidak tahan melihat Naleah tiap selesai makan memuntahkan makanannya.
Namun Naleah yang keras kepala selalu menolak dengan tegas dan lebih memilih untuk di rawat saja di rumah. Karena dia takut kalau di bawa ke kota itu artinya mereka akan pulang.
Dan Naleah tidak mau pulang ke rumah setelah macet di jalan hampir delapan jam di perjalanan. Dia tidak akan pulang sebelum keinginannya terwujud.
Semua akan sia-sia kalau penyakit ini membatalkan segala rencananya.
Ini baru permulaan dan tidak akan ada apapun yang bisa menghancurkan keinginannya bahkan sakit ini sekalipun.
Hans mengancam jika hari ke empat Naleah tidak kunjung membaik maka mereka akan pulang ke kota dengan paksaan bahkan kalau diperlukan Hans akan mengikat Naleah supaya mau pulang. Dengan atau tanpa persetujuan perempuan itu.
Ajaibnya, keesokan harinya ketika Hans menjenguknya ke kamar dia sudah sembuh. Sembuh total.
Badannya masih hangat namun tidak sepanas kemarin. Kepalanya masih pusing namun mulai membaik dan hidungnya tidak pilek lagi. Batuknya juga sudah lenyap seakan tidak pernah ada di muka bumi ini.
Semalam memang Naleah meminta Hans untuk memberikannya coklat panas lalu memeluk dirinya sepanjang malam sampai tertidur dan mungkin karena itulah dia sehat.
Perempuan itu harus di ancam dulu baru mendengar suaranya.
Harus pakai urat dulu baru dia bisa mengerti. Bisa-bisa hidup dengan Naleah membuat dia struk di usia empat puluhan.
Untunglah Naleah sehat, segar kembali seperti tidak pernah sakit sama sekali.
"Pagi Mbok. Masak apa?"
Melihat Naleah yang selama tiga hari ini meringkuk di kamar seperti pasien sekarat sudah begitu semangat dan tiba-tiba ada di dapur membuat kening Mbok Tuti berkerut.
"Kan masak bekal di jalan, Non. Non sudah sehat?"
"Bekal apaan?" Tanya Naleah bingung. Dia mencomot Teri medan yang sedang di tiriskan diatas piring.
Mau kemana mereka bawa bekal? Camping? Atau jalan-jalan? Siapa yang suruh? Hans? Romantis sekali lelaki itu ingin mengajaknya keluar. Tapi di luar kan sedang hujan. Meskipun tidak selebat kemarin namun masih gerimis.
"Kata Tuan kalian akan pulang hari ini, Non."
Kening Naleah mengerut tajam dan tangannya di pinggang. "Kok pulang? Papa bilang apa?"
"Semalam tuan minta Mbok masakin makan siang sama jus untuk dibawa di perjalanan pulang. Katanya Non mau di bawa ke rumah sakit."
"Sudah sembuh kok kenapa malah pulang sih? Papa di mana?"
"Di luar lagi panasin mobil"
Sambil mendumel dan berlari Naleah menghampiri Hans yang sedang sibuk membersihkan mobil.
"Papa beneran mau ajak aku pulang?"
Hans yang membersihkan karpet menatapnya heran. Dia memindai penampilan Naleah dari ujung kaki ke ujung rambut lalu mengangguk pelan.
"Iya"
"Kok pulang? Ini kan masih seminggu, Pa"
"Ya kamu sakit musti di bawa ke rumah sakit. Makanya kita sekalian pulang."
"Aku udah sembuh. Kepalaku udah membaik dan aku sehat. Papa kenapa ngajakin pulang?" Naleah menjerit karena frustasi, dia mau menangis saja.
"Benar kamu sudah sembuh?" Hans memegang kening Naleah. Masih hangat namun tidak sepanas semalam.