Naleah hanya bisa menangis dan menangis sampai kelelahan. Karena untuk saat ini hanya itulah yang bisa dia lakukan demi menyelamatkan dirinya. Sementara Ben, entah apa yang dilakukan lelaki di luar bersama Jenaka dan meredakan restoran yang panas tadi.
Bagaimana dengan pekerjaannya hari ini?
Semua orang akan menatap dirinya dengan tatapan menuduh sementara dirinya belum siap untuk itu."Semua kerja. Ngapain bengong begitu?" Hardik Ben ketika melihat anak buahnya menatap Naleah secara terang-terangan, yang baru saja keluar dari gudang dengan wajah bengkak. Bengap seperti bakpao yang baru di angkat dari kukusan. Bengkak, panas dan berasap.
Semua orang mau tidak mau langsung bekerja dan menyibukkan diri supaya tidak dimarahin bos. Namun Naleah sadar kalau mereka menaruh rasa penasaran yang besar terhadapnya.
Selepas bekerja yang rasanya begitu amat sangat lama, dia akhirnya bisa kembali ke rumah.
Di rumah pun dia hanya diam saja. Melamun sambil menatap langit-langit kamar setelah selesai menangis. Entah sudah berapa kali dia menangis seharian ini.
Apakah dia akan tahan di cap sebagai pelakor sampai mati di tempat itu?!
Memang sih, selama sebulan dia bersama Hans di Puncak Gunung tinggi-tinggi sekali, lelaki itu masih sah sebagai suami Jenaka.
Dan setelah mereka liburan, hubungan mereka masih berlanjut lalu tiba-tiba Hans dan Jenaka bercerai. Pantas saja cap kotor itu di sematkan ke namanya karena dia mengencani lelaki beristri.
Naleah anak pungut si pelakor. Dia tau konsekuensinya namun tidak akan menyangka kalau akan datang secepat ini, mana dilabrak di depan semua orang pula.
Dia memeluk bantal dan kembali menangis. Berteriak di bantalnya sampai tenggorokan sakit. Melempar bantal itu hingga melayang entah kemana dan memeluk selimut.
Hancurlah sudah masa depannya. Hancur seperti sampah. Mampuslah dia.
Apa dia mengambil cuti saja seperti yang di sarankan oleh Ben tadi? Atau sekalian resign saja? Dia kan masih punya uang, tabungan juga ada, ngapain mengemis di tempat kerja begitu yang enggak kondusif lagi? Mending cari tempat lain atau kalau perlu sekalian pindah ke pulau lain. Memang kesannya seperti melarikan diri, namun lebih baik kabur dari pada tinggal di tempat yang sudah tidak kondusif lagi.
"Kamu mau ambil cuti dulu sampai keadaan membaik?" Tanya Ben ketika mereka berdua ada di dapur dalam jam istirahat siang tadi.
Yang lain sedang makan di luar sementara mereka berdua ada di dapur. Naleah sedang memotong daging sementara Ben mengamati.
"Tidak perlu, Chef"
"Kamu jangan memaksakan diri. Yang susah nanti kamu sendiri. Ambil cuti dan lupakan masalah ini"
"Saya tidak apa-apa, chef. Nanti juga gosipnya mereda sendiri"
"Kalau kamu butuh bantuan bilang saja."
"Terimakasih banyak, Chef"
Kejadian hari ini mengingatkan Ben akan beberapa tahun silam saat dirinya di Bali. Pekerjaannya hancur berantakan karena Jenaka juga mempermalukan dirinya di depan umum, sama seperti yang ia lakukan kepada Naleah.
Dia di katai sebagai suami yang tidak bertanggungjawab. Suami yang hanya menghamili istri namun tidak mau memberi nafkah. Di depan umum yang jauh lebih banyak orang dan jauh lebih memalukan dari ini.
Jangan tanya sehancur apa reputasi Ben waktu itu. Pekerjaannya di batalkan dan dia harus ganti rugi pinalti lalu namanya tercoreng.
Untung dia laki-laki jadi tidak peduli semua ucapan orang yang bisanya mengomentari tanpa tau duduk masalahnya. Dan biasanya orang juga tidak akan terlalu kejam menduingnya sebagai manusia brengsek karena dia laki-laki.