Untuk ketiga kalinya hari ini, Naleah membuka kartu undangan yang dia terima beberapa hari yang lalu dengan pikiran bercabang.
Besok acara pemberkatan pernikahan temannya akan di adakan di Gereja dan dia harus datang. Karena itu adalah hari besar teman baiknya itu. Jadi dia memutuskan datang dengan penampilan terbaik untuk memberikan restu dan juga selamat. Karena katanya tidak akan ada resepsi maupun acara adat seperti pernikahan pada umumnya.
Saat ini memang lagi marak sih menikah di KUA saja, jadi dia pun tidak terlalu aneh dengan keputusan temannya ini.
Masalahnya sama siapa dia pergi besok? Masa cuma sendirian?
Apakah dia harus mengajak Hans pergi bersama dengan dirinya ke Acara pemberkatan temannya atau tidak?
Apa yang akan lelaki itu katakan kalau dia mengajak Hans bersama di hari kerja seperti ini?
Apalagi Hans sedang masa sibuk sekarang.
Sibuk kerja, sibuk mengurusi Oma dan sibuk mengurusi Bulan.
Om Joko tidak di perbolehkan menemui Tante Bulan dan nama lelaki itu seakan begitu haram di keluarga mereka sekarang. Makanya Hans berubah menjadi sosok penjaga di sekitar Bulan.
Lagian siapa sih perempuan yang mengajak Papanya sendiri ke acara begitu? Biasanya kan bawa pasangan, teman maupun rekan saja, tidak pernah ada yang bawa orang tua.
Orang taunya mereka ayah dan anak angkat, sementara dirinya merasa kalau mereka adalah pasangan.
Naleah bingung sendiri.
Mau ngajak ragu, mau tak di ajak enggak sudi datang sendiri. Bagaimana ini?
Pesannya yang kemarin di kirim pada Hans pun hanya di berikan jawaban Ok saja. Bagaimana bisa dia mengajak Hans pergi kalau lelaki itu seperti menyatu di dalam pekerjaannya saja?
"Permisi, Mbak. Kuteknya mau di kasih warna apa ya?"
Karena besok dia mau kondangan, Naleah memutuskan untuk pergi ke salon kecantikan sepulang bekerja, memanjakan dirinya dari ujung rambut ke ujung kaki melakukan treatment full body head to toe yang memakan waktu hampir lima jam.
Dan saat ini dia sedang menikmati treatment terakhirnya yaitu mewarnai kuku kaki dan tangan setelah seharian di pijat dan juga berendam di bak mandi penuh rempah-rempah.
"Kaki warna merah, Mbak. Kalau tangan bening saja"
"Mbak yakin enggak mau bikin kuku palsu? Bagus loh Mbak. Apalagi warna hijau sepertinya akan sangat cantik di tangan Mbak"
"Saya kerja di dapur, Mbak. Jadi enggak deh"
Bisa di cincang si Ben dia kalau pakai kuku panjang-panjang. Jangankan punya kuku, di warnai saja lelaki itu ngereog seperti kucing garong batal kawin.
"Oh, baik mbak"
Naleah menyimpan kartu undangan itu kembali ke tas lalu mengambil ponselnya. Dia hubungi Hans dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sedang di kerjain petugas salon.
Tidak di angkat.
Lelaki itu sepertinya sedang sibuk sekali seperti Presiden yang hendak melakukan tugas negara melakukan blusukan ke pelosok sampai tidak dapat signyal sama sekali.
"Papa bisa temani Lili besok jam sepuluh pagi ke acara pemberkatan pernikahan teman? Ituloh, teman yang ketemu di Restoran Manado."
Pesan terkirim dan langsung centang dua abu-abu.
Biarkan saja, mungkin lelaki itu lagi sibuk sekali. Mungkin lagi makan malam atau di tempat tante Bulan.
Pukul sembilan malam, Naleah keluar dari salon seperti orang baru. Tubuhnya terasa begitu halus, lembut dan wangi seperti pantat bayi yang baru di bedakin. Rambutnya begitu wangi dan ringan. Belum lagi kukunya yang cantik. Tubuhnya terasa begitu ringan dan seperti melayang sehingga tidak sadar apakah dia menapak ke tanah atau tidak.