Selamat datang di BERASTAGI.
Berastagi adalah sebuah kecamatan kecil yang ada di Pulau Sumatera Utara. Cukup dekat dengan kota Medan dan di apit oleh dua gunung berapi yang aktif.
Tanah di tempat itu subur, apapun yang jatuh diatasnya pasti tumbuh dan mekar seperti batu yang dilemparkan ke air sehingga bergelombang jadi ombak.
Tempat itu sejuk dan nyaman dengan udara segar yang nikmat. Sektor pertanian disana sangat makmur dengan hasil panen sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga yang melimpah ruah. Meskipun pertanian sukses, pariwisata disana pun tak kalah suksesnya.
Peternakan, pabrik susu, taman bermain, semuanya makmur. Cuaca pun dingin persis seperti di Puncak kemarin. Namun lebih maju.
Jarak perjalanan dari Bandara ke Berastagi menggunakan mobil hampir tiga jam. Sepanjang perjalanan Naleah memandang ke luar jendela melihat betapa indahnya tempat itu. Sementara Hans sibuk mengabari temannya kalau dia sedang ada di perjalanan darat ke lokasi.
Melihat perjalanan mereka yang asik, Naleah yakin kalau tempatnya pasti akan keren. Dan dia tidak sabar untuk segera melihat tempat dia memulai hidup baru dengan Hans.
Setelah lelah di perjalanan, akhirnya mobil yang mereka naiki sampai ke sebuah lokasi pedesaan yang makmur. Terus berkendara meninggalkan jalan besar lalu masuk ke jalan tanah berbatu beberapa menit akhirnya sampai di sebuah lahan kosong yang tak terurus. Di tengah lahan itu, ada sebuah rumah tua yang nampak butuh banyak perawatan, dengan teman Hans yang menunggu disana.
Pertama sekali melihat tempat itu, Naleah merasa mimpinya ada disana.
Tempat itu luas, dengan halaman besar yang nampak rindang dipenuhi pohon mangga, pohon kemiri, pohon jambu dan pohon rambutan. Sehingga matahari tak mampu membakar rumah itu sehingga memberikan kesan sejuk dan nyaman.
Meskipun rumah dari kayu itu nampak tidak terurus, hampir roboh dan nampak rapuh, namun kalau sudah di tangani orang yang tepat dan uang yang melimpah pastilah bisa di perbaharui.
Saat Hans berbincang dengan temannya, Naleah sibuk melihat-lihat keadaan sekitar. Daun-daun kering yang nampak tahunan tidak di bersihkan, menyapu kakinya ketika dia melangkah. Kalau semua daun ini di sapu, tanah kering ini di tanami rumput jepang, jalanan di kasih batu yang baru, pastilah akan bagus.
"Gimana, Sayang, kamu suka?" Tanya Hans ketika lelaki itu selesai berbincang dengan temannya dan kini mereka melihat-lihat berdua.
"Suka banget. Tanahnya luas dan pohonnya banyak. Tapi kamu bakalan tekor karena membayar arsitek dan membeli bahan bangunan" jawab Naleah sambil tersenyum.
"Meskipun udah enggak kerja, tapi calon suami mu ini kaya raya tau" bisik lelaki itu bangga.
"Amin"
Ini di tempat baru dan mereka sama-sama sepakat kalau sekeluarnya mereka dari pesawat, Naleah tidak akan menyebutkan Hans sebagai Papa lagi. Jadi ini hari pertamanya memanggil lelaki itu dengan sebutan lain, selain Papa.
Meskipun agak aneh memanggil dengan sebutan lain, seperti aku kamu yang kedengaaran tidak sopan karena perbedaan umur mereka cukup jauh, panggil sayang di depan orang rasanya terlalu intim di pedesaan, jadilah Naleah paksa saja. Demi masa depan yang lebih baik.
Mereka berdua menginap di hostel terdekat untuk sebulan dua bulan kedepan karena rumah itu akan di rubuhkan lalu di bangun mulai dari awal lagi. Mereka juga sibuk konsultasi dengan arsitek setelah dia dan Naleah sepakat ingin ruangan yang seperti apa di dalam rumah masa depan mereka. Dan untuk memantau perkembangan rumah mereka, itu adalah pekerjaan Hans.