Harap 27

55 8 0
                                    

Perlahan ruang dadanya terasa longgar, menangis membuat Humeyra sedikit tenang. Ia berusaha menarik sudut bibirnya menjadi senyuman simpul lantas menatap langit, masih sama seperti kemarin, tapi kali ini sangat cerah. Lukisan di langit kali ini begitu indah seolah ini adalah hadiah untuknya setelah bersedih, gumpalan awan yang saling bertumpukan, warna biru langit yang indah membuatnya takjub akan keagungan-Nya.

Humeyra menoleh pada Zulfa yang tak lepas menatapnya dengan tatapan sendu, sesama perempuan bisa saling merasakan dan memahami.

"Sudah mendingan Mey?" Tanya Zulfa masih mengusap punggungnya memberikan ketenangan. Lagi-lagi respon Humeyra tersenyum, meskipun lelah menghadapi ujiannya, Humeyra tidak ingin menyerah begitu saja. Ia tahu di ujung sana pasti akan ada kebahagiaan untuknya, sebuah hadiah dari lelahnya menanti, bahkan kesedihan nya.

"Mendingan Fa, maaf baju kamu basah gara-gara aku nangis." ucap Humeyra merasa bersalah.

"Aku paham Mey sebagai sesama perempuan. Saranku jangan terlalu dimasukkan ke hati, ikuti alur tapi jangan sampai terbawa arus. Kamu harus bisa mengarungi nya dengan pendirian di hati kamu. Libatkan Allah, maka semuanya akan baik-baik saja." nasihat Zulfa dibalas anggukan oleh Humeyra.

Nada pilu berhasil mendobrak hatinya setelah sekian lama tertawan, sekokoh apapun pondasi hatinya untuk bertahan berakhir runtuh tanpa ia rencanakan. Meskipun begitu, Humeyra bersyukur karena setelah meluapkannya melalui tangis tersisa ketenangan dalam jiwanya, ia seperti menemukan semangat baru dalam menjalani hidup, walaupun rasa sedih masih tersemat di hati, namun tak sebesar hari kemarin. Humeyra sudah merasakan separuh hatinya untuk ikhlas, ketegaran sedikit demi sedikit tumbuh dalam diri.

Ia hanya perlu bercerita lalu mendapati motivasi yang mampu mendorong dirinya keluar dari lingkaran kesedihan. Sayangnya karena sifat diamnya dalam memendam persoalan membuat Humeyra menabung perih dalam hati. Sesungguhnya ia butuh perhatian untuk menenangkan, tapi lisannya tak mampu mengungkapkan.

"Makasih banyak ya Fa, mau mendengarkan keluh kesah aku, ternyata aku cengeng juga baru menghadapi ujian seperti ini." ucap Humeyra, kali ini ia bisa tersenyum lebar bahkan bernafas lega.

"Bukankah dibalik persoalan ada kesabaran? Dibalik sabar ada pahala, dibalik ujian ada pelajaran untuk dijadikan bekal hari esok."

Humeyra mengangguk paham lantas beralih membereskan kerudung-kerudung yang masih belum terbungkus rapih. Setelah ini ia harus bergegas mengantarkan pesanan kerudung pada teman-temannya, mengingat ia juga ingin cepat pulang ke rumah untuk mengistirahatkan diri. Rumah punya aura khas juga sebagai penyejuk hati, baru dia pergi sebentar meninggalkan rumah rasanya Humeyra sudah teramat rindu pulang ke rumah. Lebih tepatnya rindu masakan Bunda alias lapar hehe.

Disela ia mengemas barang-barangnya perhatian Humeyra terpaku pada seseorang yang ia kenal, kali ini bukan Agam. Melainkan teman satu SMP nya dulu-Habsya Rawandi, satu-satunya murid yang berhasil menentang peraturan seragam bercelana pendek saat itu, karena peraturan sekolah dulu bagi laki-laki wajib mengenakan seragam celana pendek, kecuali MTS yang memang dasarnya berbau agama. Tapi tidak dengan Habsya, pria itu datang mengenakan celana seragam panjang dengan alasan menutup aurat karena malu juga. Setelah banyak pertentangan panjang antara guru, akhirnya pihak sekolah mengeluarkan aturan bebas memakai seragam panjang dan pendek untuk pria. Hebatnya sampai sekarang dominan yang pria kenakan seragam bercelana panjang.

Bertemu dengan Habsya membuat Humeyra teringat pada satu peristiwa, posisinya saat itu sedang di kelas dengan jam pelajaran bimbingan konseling. Guru BK memberikan terapi untuk membuat jiwa anak muda percaya diri, alih-alih serius memperhatikan guru BK, ia dan Habsya malah menertawakan terapi yang guru BK berikan. Seperti mengetuk-getuk hidung, tapi Habsya malah menarik ujung hidungnya sampai menampilkan dua lubang hidung besarnya yang kembang kempis, Humeyra yang tak sengaja melihat, berusaha menahan tawa dan Habsya pun menyadarinya. Sampai-sampai keduanya ditegur oleh sang guru untuk fokus dalam melakukan terapi, tapi saat itu telinga keduanya dungu, tidak mendengar teguran sang guru. Malah semakin menjadi menahan tawa sampai perut keduanya sakit.

MELEPAS HARAP | CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang