Side story of Agam
~POV AGAM~Hari-hari yang lelah dari awal Agam menginjakkan kaki di rumah, melepas rindu bersama keluarga. Satu minggu adalah waktu sebentar untuk bermanja dengan Umi, kapan lagi ia bisa tidur dipangkuan Umi setelah keberangkatan nya ke Yaman dan tidak akan pulang bertahun lamanya. Tinggal menghitung jam Agam akan kembali berpisah dengan keluarganya, sebelum Agam keluar dari kamar, ia masih sempat menatap diri melalui pantulan cermin. Dalam pantulan nya Agam membenarkan tatanan pecinya lantas sempat terdiam beberapa saat sampai akhirnya pandangannya tertuju pada barang bawaannya yang sudah siap untuk diangkut.
Kembali berpisah dengan keluarga membuat dirinya harus menahan sedih, perpisahan nya tak lain untuk pulang membawa kebanggaan. Tujuan utamanya sekarang adalah bahagia kedua orang tuanya, meskipun lamanya tahun yang ia tempuh untuk menimba ilmu, kelak ia akan kembali ke tanah kelahirannya, mendarat dengan harapan selamat sampai tujuan lantas mengembangkan karirnya, setelahnya ia akan menemukan satu hati yang membuatnya menetap tanpa berpaling, ingin bersanding untuk melengkapi ibadah sepanjang hidup, menemani diusia tuanya.
Pemikiran yang masih lama untuk terjadi, namun Agam sudah menyusun skenario itu dalam pikirannya, dan ingin sekali Agam langsung melewati bab ini dan beralih pada bab dimana ia dipersatukan dengan wanita pilihannya.
Dengan sekali tarikan napas, Agam memantapkan diri untuk menemui keluarganya. Dirasa sudah siap semuanya, Agam beranjak keluar seraya membawa kopernya keluar. Saat keluar kamar, ia langsung disambut oleh Umi, wanita yang paling ia cintai di dunia ini.
"Sudah siap nak? Barang-barang yang mau dibawa tidak ada yang tertinggal?" Tanya Umi sangat teliti sambil memperhatikan barang bawaannya.
"Sudah Umi sayangku, semuanya sudah tertususun rapi di dalam koper, cuman satu yang aku khawatirkan." ucap Agam seraya wajahnya berubah sedih.
Umi sontak memasang raut heran, "apa yang buat kamu khawatir?"
"Agam takut saat di sana rindu ke Umi tidak bisa terbayarkan," jawab Agam seraya menampilkan rentetan gigi kecilnya, sedangkan Umi yang mendengar ucapan anak keempat nya langsung mencubit kecil pinggang Agam sangat gemas, sontak Agam pun mengaduh.
"Bisa aja ya ini anak bujang, nanti Umi sempatkan telpon kamu,"
Agam menhentakkan kaki, "nggak cukup itu, Mi. Pengennya dipeluk sama Umi baru duniaku terasa tenang," ujar Agam.
"Ya sudah sini Umi peluk,"
Umi merentangkan tangannya membawa anak laki-lakinya menuju dekapan hangat sang ibu, dalam rengkuhan raga yang Agam cintai, ia menenggelamkan kepalanya tuk menyembunyikan kesedihan lantas menghapus genangan air matanya agar tak diketahui Umi. Setegar apapun dirinya, akan terlihat rapuh bila bersangkut-paut dengan orang yang ia cintai. Berpisah dengan kedua orang tua adalah hal terberat bagi Agam, jika anak seusia nya masih bisa berkumpul dengan keluarga, Agam harus merelakan terpisah oleh jarak yang terbentang jauh, berbeda jam, berbeda negara.
"Ridhoi Agam menimba ilmu Umi, doakan Agam yang terbaik di sana. Ridho Umi selalu memberi kemudahan setiap langkah yang Agam ambil." cicit Agam.
Agam menatap lekat wajah Umi, dapat terlihat buliran bening membasahi binar mata pelita hidupnya, jemari Agam terulur menghapus air mata Sang Umi. Ia tidak ingin melihat Umi nya menangis kecuali tangis kebahagiaan.
"Umi ridho kamu pergi untuk menimba ilmu, Umi ridhoi setiap keputusan yang Agam ambil jika itu adalah pilihan yang terbaik. Ridho Allah, Umi, Abah menyertaimu nak, langkahkan kaki kamu seluas ilmu yang kamu cari, datang ke rumah dengan raga yang utuh, sehat walafiat. Itulah harapan Umi. Gemilang mu adalah bonus, kembali dengan selamat itu harus."
Agam tertunduk berusaha menahan sesak di dadanya, satu minggu tidak cukup baginya untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, ia ingin lebih lama di sini. Meskipun rindu nya akan terobati dengan kehadiran kawan-kawan, tak bisa dipungkiri keluargalah tempat ia pulang, keluargalah yang selalu erat dalam hati.
"Terimakasih Umi,"
"Sudah, anak Umi sudah ganteng, gagah, nggak boleh sedih harusnya gembira dong pergi ke Yaman, kalau anak muda zaman sekarang healing," kekeh Umi menutup mulutnya.
"Healing apaan Umi,"
"Yuk berangkat, nanti ketinggalan pesawat loh," ujar Umi hendak berbalik badan, namun tangan Agam menggapai lengan Umi menahannya agar tidak pergi.
"Umi,"
Umi menoleh, "kenapa lagi?"
"Kalau ada satu nama tersemat di hati Agam selain Umi, apa Umi ridho?"
"Tunjukkan siapa dia saat kamu kembali ke Indonesia, ceritakan apa yang membuat kamu bisa memilih dia untuk tinggal di hatimu, Insya Allah Umi lancarkan niat baik mu kelak, nak."
Agam hanya bisa tersenyum menuruti apa kemauan Umi, saat ini cinta tak dilibatkan dalam pendidikannya. Meskipun teramat berat, justru semuanya akan rusak kala cinta dua insan tak halal ikut campur, membuat fokus Agam terbagi dua.
Saat ini, ku simpan namamu dalam doa. Ku pendam rindu ini dalam lubuk hati, ku lupakan sejenak segala hal tentang mu. Maaf bila penantian mu bertahun lamanya membuat mu lelah, semoga saat aku datang membawa niat baik, dirimu belum dimiliki oleh siapapun. Aku serahkan dirimu untuk dijaga sebaik-baiknya oleh Sang Pemilik Hati. Sampai jumpa di tujuh tahun mendatang...
___________________________________________________
Happy Reading ✨
In Memoriam
4 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
MELEPAS HARAP | Complete
Teen FictionMencintai bukan berati harus memiliki, terkadang mencintai harus bisa mengikhlaskan nya. Berharap padanya yang jauh dari kata gapai. Wanita yang dihadapkan dengan kata tunggu, menunggu pria yang ia cintai nya datang untuk meminang. Namun, semuanya r...