Jantungnya terus berdentam kuat seiring dengan kudanya yang dipacu kencang. Bayang-bayang ketakutan akan kabar peperangan di lapang Bubat masih membuatnya syok. Dia ... tidak tahu ... sungguh. Pikirannya langsung kalut dan kusut, dan yang bisa dilakukannya adalah segera berlari menuju Bubat. Dia hanya bisa Berharap waktunya belum terlambat untuk menyelesaikan kesalahpahaman antara Majapahit dan Pajajaran."Gusti Prabu." Salah satu prajurit Bhayangkara mendekatinya dengan wajah tegang. "Gusti Prabu, sebaiknya tidak mendekati Bubat, sebab keadaan masih sangat kacau," ujar prajurit Bhayangkara tersebut.
Dia menatap nyalang dan segera mengambil pataka-nya yang terselip di timang, lalu dihunuskan ke arah prajurit tersebut. "Minggir! Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang ini," ancamnya pada prajurit tersebut.
"Tapi, Gusti Prabu ...," prajurit tersebut tetap menghalangi jalannya untuk segera mencapai Bubat.
Tanpa basa-basi lagi, tangannya sudah mengayunkan pataka-nya dan segera ditebaskan ke lengan kiri prajurit tersebut hingga mengaduh kesakitan. Kuda yang ditunggangi prajurit tersebut terjatuh, tanpa menoleh lagi, dia segera melecut kudanya agar segera berlari menuju Bubat.
Dalam jarak pandang yang sudah dekat, dia bisa melihat bagaimana mengerikannya lapang Bubat. Suara tombak, keris, kujang dan panah saling bersahutan. Puluhan jasad tergeletak sia-sia dengan bersimbah darah.
"Berhenti! Berhenti!" Dia berteriak lantang, akan tetapi suaranya teredam oleh kebisingan senjata dan seruan peperangan.
"Jangan! Jangan!"
Kali ini dia turun dari kudanya dan segera menuju pada barisan lingkaran yang mengepung pria berkulit bersih dengan kepala yang memakai mahkota. Tentu saja dia tahu, bahwa pria tegap dan tinggi yang sedang bertarung dengan gigih itu adalah calon mertuanya—Prabu Lingga Buana.
Namun, larinya terlambat, sebab tubuh sang calon mertua yang dikepung dari berbagai sisi itu sudah tumbang dan kini tersungkur mencium tanah Bubat yang bau anyir darah. Pikirannya mendadak kosong dan deru napasnya terasa sesak.
"Rama!" teriakan yang melengking di arah selatan menyadarkannya.
Dia melihatnya. Perempuan yang harusnya sebentar lagi akan menjadi permaisurinya. Namun, wajah cantik perempuan itu tampak sayu dan sendu bersimbah air mata. Rambut yang tergerai dengan pakaian pengantin yang dia siapkan untuk Sang Putri Pasundan. Tampak beberapa dayang menahan Sang Putri agar tidak mendekati jasad Sang Maharaja Lingga Buana yang telah gugur.
"Rama!"
Suara perempuan itu kembali melengking diiringi ratap tangisnya. Dia melangkah mendekat dan berusaha menenangkan Sang Putri. Pandangan mereka saling bertemu. Dia yang menatap penuh damba dengan rasa bersalah, tapi tidak dengan kilat mata Sang Putri yang memancarkan luka dan dendam.
"Putri Dyah Pitaloka," gumamnya dengan suara yang nyaris pelan.
"Berhenti! Jangan mendekat!" ucap Dyah Pitaloka dengan pandangan tajam namun tangisnya yang terus-menerus membuat wajah cantiknya sembab dan basah.
Hatinya teramat sakit. Pertemuan yang dibayangkannya membuatnya tidak bisa tidur dan terus disimpan dalam mimpinya tidak seperti ini. Yang dia bayangkan adalah, pertemuan dengan wajah saling tersipu malu tapi juga dengan tatapan cinta. Sebab, dia sudah jatuh cinta saat melihat lukisan Dyah Pitaloka. Tapi mengapa yang terjadi justru pertemuan menyakitkan dan berdarah.
"Paduka Sri Rajasanagara, ini, kan, yang Wilwatikta inginkan?! Kedaulatan dan pengakuan akan negeri Wilwatikta yang agung! Kalian menginginkan gadis yang lemah ini sebagai bukti persembahan atas pengakuan Pajajaran sebagai negeri taklukan, bukan?" tantang Dyah Pitaloka. Gadis itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi, tatapannya tajam dan nyalang, dari balik baju pengantinnya, dia menarik pisau yang berbentuk senjata kujang berukuran kecil.
"Tidak, Putri. Saya tidak menginginkan seperti ini," ucapnya putus asa.
Dyah Pitaloka hanya mengulas senyum. Kali ini tatapannya sedikit melembut. Dia bisa melihat ada sedikit cinta yang terpancar dari wajah putus asa Putri Pasundan itu. Tatapan Dyah Pitaloka yang mengunci pandangannya mampu menggetarkan hatinya begitu kuat.
"Dyah Pitaloka, Permaisuriku," ucapnya dengan suara yang bergetar. Langkahnya berusaha pelan, mendekat agar tak membuat Dyah Pitaloka nekat. Dia tidak bisa membayangkan kujang di tangan yang terlihat halus dan bercahaya itu akan mengenai kulit Sang Putri.
"Kejayaan untuk Pajajaran!"
Tiba-tiba suara Dyah Pitaloka menggelegar bagai membelah langit. Namun, detik itu juga lengkingan suara Dyah Pitaloka seakan menelan cahaya Sang Surya Wilwatikta. Kujang tertancap sempurna di dada bagian kiri Sang Putri. Hayam Wuruk yang menyaksikan dengan matanya sendiri, segera melesat dan merengkuh tubuh Dyah Pitaloka. Dia mendekap sang putri dengan erat. Tubuhnya bergetar hingga bahu tegapnya naik turun.
Dia tidak kuasa menahan tangisnya saat merengkuh tubuh yang terasa begitu sempurna dalam pelukannya. "Permaisuriku, Dyah Pitaloka," ucapnya dengan isak tangis yang teredam.
Suara rintihan terdengar dari bibir Dyah Pitaloka yang mulai memucat. "Prabu ... Hayam Wuruk," ucap Dyah Pitaloka dengan tangan lemahnya yang terangkat—berusaha membelai pipi Hayam Wuruk yang basah.
Sang Putri menangis saat membelai pipinya. Hayam Wuruk membiarkan bau anyir darah yang menjejak di wajahnya. Dia bahkan tak malu untuk meraih tangan Dyah Pitaloka dan mengecupnya. Hanya isak tangis yang terdengar dari keduanya. Lalu perlahan napas Dyah Pitaloka mulai tersendat dan berakhir dalam satu tarikan napas panjang. Mata cantik itu terpejam untuk selama-lamanya.
Cintanya pergi meninggalkannya di pertemuan pertama mereka.
Cintanya meninggalkannya dengan keadaan sama-sama memakai baju pengantin tanpa ada upacara pernikahan.
Hayam Wuruk hanya bisa menunduk lemah dan terisak sembari terus memeluk erat tubuh Dyah Pitaloka yang sudah tidak bernyawa. Harusnya, hari ini adalah hari pernikahannya dan kebahagiaannya. Tapi cintanya memilih ke Swargaloka terlebih dulu meninggalkannya.
Dinda Dyah Pitaloka. Selamanya ... aku hanya akan mencintaimu. Tidak akan ada wanita lain yang menggantikanmu. Tunggu aku di Swargaloka, Dinda. Hayam Wuruk mengucapkan janjinya pada Dyah Pitaloka yang sudah tidak bisa mendengar. Namun, Hayam Wuruk bersumpah akan memegang teguh ucapannya.
Dia berusaha meredakan tangis dan amarahnya. Pandangannya diedarkan ke sekeliling Bubat yang porak poranda hingga akhirnya, pandangannya bertemu dengan sosok Sang Mahapatih yang selama ini dihormati dan diseganinya.
Sang Mahapatih tampak tertunduk dengan tangan yang masih memegang keris menetes darah. Hayam Wuruk merasakan hatinya kebas. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya pada Sang Mahapatih kebanggan Wilwatikta yang justru saat ini adalah orang paling berjasa menorehkan luka di hatinya.
Bandung, 13 Maret 2023
Halo, akhirnya aku publis cerita ini di Wattpad. Awalnya cerita ini sudah aku publis di Karyakarsa, akan tetapi karena satu dan hal lainnya, aku tidak dapat menyelesaiakn deadline. Mau tetap memaksakan diri buat ditamatkan tapi justru aku tidak puas dengan hasilnya.
Oleh karena itu aku gagal mengikuti kompetisi Karyakarsa x Noice. Mungkin memang belum rezeki.
Jadi, aku memutuskan akan melanjutkan cerita ini di Wattpad bersamaan dengan Mpu Nala.
Sebenarnya membuat cerita tentang Hayam Wuruk ini membuatku ragu, karena di Wattpad sudah banyak versi yang dikisahkan dengan beragam alur cerita, dan yang aku khawatirkan adalah teman-teman akan bosan dan "ah! Hayam Wuruk lagi, Hayam Wuruk lagi!"
Tapi semoga teman-teman masih menyukai dan menikmati versi yang ini.
Yuk, vote dan komen, agar aku lebih semangat lagi buat melanjutkan cerita ini. Terima kasih atas waktu kalian yang berhara untuk membaca cerita-ceritaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...