Met Subuh ...Mohon maaf, updatenya ngalong banget
Siap tancap gas?
***
Beberapa Hari Sebelum Kepulangan Hayam Wuruk dan Sudewi ke Kedaton
Sembari menimang putranya, Praya memperhatikan tumpukan hadiah yang dikirimkan untuknya, baik dari sentana raja dan para selir. Hadiah-hadiah itu begitu gemerlap dan menyilaukan pandangan. Namun, Praya justru merasa hampa. Bukan hadiah-hadiah itu yang dibutuhkannya.
"Tampan sekali bayi mungil ini," puji salah satu selir Hayam Wuruk yang ikut mengunjungi Praya.
"Benar. Mirip sekali dengan Gusti Prabu, terutama garis wajahnya," ujar yang lainnya lagi.
Namun, Ipsita berdecak tipis. "Wajah bayi yang masih merah kan berubah-ubah. Tidak bisa dibilang sekarang ini mirip dengan Gusti Prabu," kata Ipsita yang tidak setuju. "Lagi pula Gusti Prabu sendiri belum kembali dan melewatkan kelahiran putra pertamanya yang justru adalah seorang laki-laki, sayangnya ..., dari seorang selir."
Ucapan Ipsita seakan melempar bara api yang menyulut amarah Praya yang tertahan. Namun, Praya masih berusaha mengendalikan kesabarannya. "Mungkin sejarah negeri ini akan berulang. Bukankah keturunan laki-laki mendapatkan kedudukan yang utama," sahut Praya dengan tenang.
"Bukankah Selir Praya yang pernah cerita pada saya bahwa negeri ini ketika dipimpin raja yang merupakan putra dari selir justru diambang kehancuran. Pemberontakan di mana-mana. Selir Praya tidak lupa, kan , pernah bercerita seperti ini pada saya dulu?"
Ipsita dan Praya beradu pandang. Senyum yang terhias dibibir keduanya tidak ada ketulusan. Semakin Praya tenang dan terlihat menang, semakin membuat Ipsita muak dan benci. Apalagi ketika Praya berhasil melahirkan seorang putra. Bagi Ipsita tentu saja ini adalah bencana baginya.
"Saya rasa Putri Ipsita terlalu fokus pada pemberontakan, tapi lupa bahwa saya juga mengisahkan setelah pemberontakan berhasil ditumpas, pemerintahan mendiang Gusti Prabu Jayanegara berjalan dengan baik, memulihkan kepercayaan rakyat dan para punggawa juga sentana raja."
Raut Ipsita tampak semakin kaku. Sedang Praya tersenyum puas dan lebar. "Siapa pun asal dari seorang wanita yang mengandungnya, laki-laki dari garis keturunan raja akan selalu menjadi istimewa."
Suasana tempat kediaman Praya terasa dingin sekali. Semua selir yang ikut bertandang ke tempat Praya, tidak tahu harus memihak yang mana, atau merespons apa. Mereka—satu dan yang lainnya—tidaklah dekat. Status sebagai selir membuat perang tak kasat mata. Dan, yang paling menonjol mengobarkan peperangan adalah Putri Ipsita dan Praya.
"Ah ..., saya hampir lupa, putra kami—" kata Praya yang sengaja menekankan kata kami. "—bernama Aji Rajanatha. Gusti Prabu sendiri lah yang memberi nama putranya. Sebelum keberangkatannya, Gusti Prabu telah berpesan untuk memberikan nama indah ini untuk putranya." Ucapan Praya terdengar sesumbar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...