33. Mengurai Kerumitan

708 96 84
                                    

Kedaton Wilwatikta, 1360 Masehi

Praya terus saja mendesah lelah. Dia lelah dalam penantian. Setelah surat terakhir yang dikirimkan oleh Hayam Wuruk padanya, tidak ada lagi surat yang datang. Perutnya semakin membuncit. Besar dan terasa kaku. Napasnya sudah mulai sering terasa sesak. Walyan yang memeriksa keadaannya mengatakan bahwa kelahirannya semakin dekat. Namun, Praya tidak ingin itu terjadi. Setidaknya yang dia inginkan adalah anak yang dikandungnya lahir Hayam Wuruk telah kembali ke kotaraja.

Kini tatapnya beralih pada lembaran lontar di atas meja. Isinya sudah dihafalnya di kepala. Saat kerinduannya mendesak datang, hanya bait dalam lontar itu saja yang menyenangkan hatinya. Kata-kata Hayam Wuruk begitu manis dan penuh rayu. Hal ini membuat Praya ingin melemparkan lontar ini pada Ipsita dan selir lainnya yang sering menatapnya dengan rendah, bahwa di antara selir-selir lainnya, dialah yang mendapatkan tempat di hati Hayam Wuruk.

"Selir Praya, walyan datang untuk memeriksa keadaan anda." Kalimat itu lagi. Sungguh Praya muak. Seminggu bahkan bisa lebih dari tiga kali walyan tersebut memeriksanya.

Kakinya menghentak lantai, tapi juga tetap berdiri dan membuka pintu kamarnya. "Aku dalam keadaan baik-baik saja dan—" Praya tergagap dengan mata yang membelalak lebar. Dia segera menangkupkan kedua tangannya saat melihat ibu Suri Tribhuwana di depan kamarnya. "Hamba mohon maaf tidak tahu kedatangan Gusti Ibu Suri," katanya sedikit gugup.

"Aku mendengar bahwa beberapa kali kamu menolak kedatangan walyan yang akan memeriksa, benarkah itu Selir Praya?" Tribhuwana melangkah masuk diikuti walyan yang memang bertugas memeriksa dan melayaninya selama kehamilan.

Praya semakin tergagap menjawab pertanyaan Tribhuwana. "Bukan seperti itu, Gusti Ibu Suri, hamba hanya—merasa baik-baik saja, tidak ada kendala apa pun, dan tidak ingin merepotkan para emban ataupun walyan," elak Praya.

"Bukankah waktu itu kamu sendiri yang bilang bahwa Ananda Prabu yang telah memberikan walyan terbaik untuk menjaga kesehatan kandungan Selir Praya, bukankah kalau Selir Praya seringkali menolak kedatangan walyan, sama halnya dengan Selir Praya menolak apa yang diberikan oleh Ananda Prabu."

Tribhuwana mendekat lalu meraih tangan Praya. Mengusapnya lembut seraya menatap Praya dengan tatapan sedikit tajam. "Bisa saja hal itu akan dianggap sebagai sikap membangkang pada Raja." Tribhuwana mengatakannya dengan berbisik.

Praya sontak menggeleng cepat. "Hamba tidak seperti itu, Gusti Ibu Suri. Hamba sangat mencintai Gusti Prabu dengan tulus. Seluruh hidup hamba, hanya akan dipersembahkan untuk Gusti Prabu."

Tribhuwana menepuk-tepuk tangan Praya dengan pelan. "Seperti itulah tugas seorang selir. Mengabdikan dirinya pada laki-laki yang memilihnya. Terlepas apakah dicintai atau tidak, selir adalah penghibur bagi laki-laki apalagi bagi seorang raja yang memiliki banyak wanita."

Senyum Praya lenyap dari bibirnya. Kata-kata Tribhuwana terdengar menyudutkan posisinya. "Tapi Selir Praya jangan berkecil hati, aku tidak pernah membedakan siapa pun dan dari mana asal seseorang, kecuali bila seseorang itu bertindak culas dan merugikan orang lain, mungkin dia nanti akan mendapatkan perlakuan yang sama. Terutama dariku." Tribhuwana mengakhiri kalimatnya dengan satu garis senyuman yang lebar.

"Walyan, silakan memeriksa kandungan Selir Praya, periksalah dengan baik dan hitung kapan waktu yang tepat untuk melahirkan," titah Tribhuwana pada walyan tersebut.

Praya tidak bisa mengelak ataupun berkelit. Dia hanya bisa pasrah saat melangkah menuju ranjangnya. Tangannya meremas kain selendangnya. Melilitkannya di jari telunjuk. Di pikirannya kini hanya mengulang-ulang kalimat yang diucapkan Sang Ibu Suri padanya, sehingga tidak memperhatikan walyan yang tengah memeriksa kandungannya.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang