15. Berita

670 100 47
                                    

Setiap pagi hingga menjelang sore, Hayam Wuruk akan menghabiskan waktunya untuk beribadat di Jajawa. Tujuan lawatan kerajaan selain untuk melihat langsung keadaan rakyat di berbagai wilayah kekuasaan mandala Majapahit, juga untuk beribadat dan ziarah pada leluhur. Nama besar trah Rangga Rajasa dimulai dari Tumapel hingga akhirnya kekuasaannya menyebar ke Madura hingga selatan Sadeng dan Keta (sekarang daerah tapal kuda Jatim. Kekuasaan Majapahit di Jatim hampir seluruhnya dan Bali).

Sudah dua malam pula di sampingnya ditemani Praya—selir pilihannya—yang menghangatkan tubuhnya. Praya tidak hanya menemaninya di ranjang, akan tetapi juga melaksanakan tugasnya sebagai istri, meski dia tidak pernah meminta karena Darya sudah mengurus segala keperluannya di luar urusan ranjang. Namun, menurut Darya, Praya ingin melayaninya dengan sepenuh hati. Seperti saat ini, setelah dia pulang dari Jajawa, makanan dan bejana untuk dia membersihkan badan sudah tersedia. Dan, selirnya itu sudah menyambutnya dengan senyum dari bibirnya yang dipoles bunga kesumba merah terang.

"Hamba sudah menyiapkan air hangat untuk Gusti Prabu dan hendak membantu Gusti Prabu membersihkan diri," tawar Praya dengan suara lembutnya. Sejak menjadi selirnya, nada angkuh gadis waktu awal pertemuan mereka, sudah tak didengarnya lagi.

"Boleh," sahut Hayam Wuruk singkat sembari melepas pakaiannya, kemudian duduk dan di sebelah bejana.

"Mohon maaf, bila hamba sangat lancang Gusti Prabu," kata Praya memohon izin untuk mulai menyeka badan Hayam Wuruk dengan air hangat yang diberi banyak bunga sebagai pewangi. Namun, kali ini Hayam Wuruk mengernyit saat melihat beberapa macam bunga yang ada dalam bejana, seperti; melati, mawar, dan asoka, akan tetapi bunga yang biasanya harus ada dalam bejana mandinya justru kali ini tidak dilihatnya.

Namun, Hayam Wuruk memilih diam. Setelah menyelesaikan mandinya dia akan menegur Darya yang lalai menyiapkan bunga tersebut. Hayam Wuruk mencoba menikmati setiap usapan Praya yang lembut dan menenangkan, terlebih lagi terkadang Praya juga memijit bagian bahu dan tengkuknya. Hanya saja seperti ada yang kurang dalam mandinya kali ini, sebab aroma yang disukainya sejak naik takhta saat berusia 16 tahun itu, untuk pertama kalinya tidak dihidunya.

"Apakah Gusti Prabu langsung ingin makan malam atau hendak membaca lontar dulu?" tanya Praya sembari mengeringkan tubuh Hayam Wuruk dan menyampirkan kain sutra lebar erwarna putih gading dengan hiasan emas di bahu Hayam Wuruk.

"Aku ingin manisan terlebih dulu sambil membaca. Jika Dinda Praya lapar bisa makan lebih dulu saja."

"Hamba belum lapar, Gusti Prabu. Kalau begitu hamba akan menyiapkan terlebih dulu manisannya."

Praya hendak keluar tenda untuk mengambil manisan dan minuman, akan tetapi Darya sudah lebih dulu bersuara dari luar tenda—mengabarkan membawa apa yang dibutuhkan oleh Hayam Wuruk. Dengan sigap Praya mengambilnya dan kembali ke dalam tenda. Menyuguhkannya di atas meja, kemudian mengambil duduk di sisi meja yang lain, sehingga kini dia berhadapan dengan Hayam Wuruk.

Untuk beberapa saat keadaan di dalam tenda begitu sunyi sebab Hayam Wuruk hanya fokus membaca dan Praya cukup tahu diri untuk tidak menganggu dan hanya diam menemani. Namun, lagi-lagi Hayam Wuruk mengernyit tidak suka saat membuka mangkuk manisannya. Bentuk dan ukuran bulatannya berbeda. Dan, yang paling mencolok adalah warna manisannya. Dia mencoba manisan di mangkuk itu, dan sesuai dugaannya bahwa bukan manisan yang seperti biasanya. Sontak Hayam Wuruk agak berteriak memanggil Darya.

"Darya!"

"Hamba, Gusti Prabu," sahut Darya dari luar tenda.

"Masuklah!"

Abdi tua itu pun masuk lalu bersimpuh di hadapan Hayam Wuruk dan Praya. "Mengapa kamu melakukan pekerjaan dengan tidak baik? Apa kamu lelah?!"

"Hamba dalam keadaan baik dan sehat, Gusti Prabu. Mohon ampun, pekerjaan apa yang membuat Gusti Prabu tidak puas terhadap hamba?"

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang