"Pihak dari Bhre Pajang dan Bhre Matahun, sudah mengajukan perihal upacara tukon (lamaran) untuk Nertaja dan Indudewi, menurutmu bagaimana Ananda Prabu Hayam Wuruk?" tanya Tribhuwana Tunggadewi.
Menjelang senja, Hayam Wuruk mendapatkan panggilan dari ayah dan ibundanya untuk bertemu dan berdiskusi. Karena di saat malam hari nanti, keluarga raja dan kerabat akan mengadakan acara makan malam bersama.
"Jika Ibunda bertanya mengenai pendapat saya, maka saya sacara pribadi dan sebagai raja, memberikan izin untuk diadakan pernikahan untuk kedua adik saya Nertaja dan Indudewi," jawab Hayam Wuruk dengan tenang.
"Tapi Ananda Prabu, jika pernikahan Nertaja dan Indudewi berlangsung, artinya kamu sebagai Raja Wilwatikta, akan dilangkahi oleh kedua adikmu, tentu saja hal ini akan menjadi pembicaraan baik dari kalangan para pejabat istana dan rakyat," ujar Cakradhara sembari ekor matanya melirik tipis
"Siapa?" Hayam Wuruk kembali melontarkan pertanyaannya dengan lebih tegas. "Siapa yang akan berani bertanya demikian, Ayahanda?"
Tribhuwana menghela napasnya. Dia mengerti akan luka yang masih disimpan putranya. Pernikahannya gagal karena kesalahpahaman politik—mungkin daripada dianggap sebagai kesalahpahaman, lebih tepatnya apa yang terjadi adalah perbedaan paham dan tujuan. "Ayahandamu hanya berbicara seandainya, Ananda Prabu. Tentu saja tidak akan ada yang berani mengatakannya langsung. Ayahanda dan Ibunda hanya ingin Ananda Prabu juga memikirkan tentang sebuah pernikahan untuk ke depannya," ucap Tribhuwana dengan lembut, berusaha menjadi penengah antara putra dan suaminya.
Hayam Wuruk mengangguk dan membalas tatapan ibundanya lembut. Namun, dia menyunggingkan bibirnya tipis ke atas, saat bertemu pandang dengan ayahnya. "Jika saya ingin menikah dalam waktu dekat ini, apakah Ayahanda sudah memiliki gambaran calon perempuan yang akan menjadi permaisuri saya?"
Cakradhara mengerjap mendengar pertanyaan Hayam Wuruk. "Pilihan gadis dari berbagai keturunan bangsawan apalagi Putri dari negeri bawahan Wilwatikta sangat mudah dicari, Anakku. Akan tetapi semuanya tetap saja akan bergantung pada penilaianmu. Namun, bila ayah diizinkan memberi sebuah saran, maka ayah akan menyarankan bahwa perempuan terpilih itu haruslah yang berasal dari keturunan yang baik. Silsilah keluarga sangat penting untuk menunjukkan betapa berharganya seseorang di mata orang lain, terlebih lagi jika berbicara mengenai sejarah Wilwatikta tidak akan pernah lepas dari Wangsa Rajasa."
Kini Hayam Wuruk tersenyum lebar. "Jadi menurutmu Ayah, perempuan dari Wangsa Rajasa atau yang dekat dengan Wangsa Rajasa adalah yang terbaik dijadikan sebagai pilihan?" tukas Hayam Wuruk.
Cakradhara hanya terdiam untuk sesaat, kemudian dia hanya mengambil minuman yang tersaji di hadapannya, meneguknya kemudian menatap lebih tajam pada Hayam Wuruk. "Sebagai seorang ayah, ayahanda berkata hanya memikirkan dan berharap tentang kebahagiaan anak di masa depan, tapi jika sebagai salah satu anggota Dewan Sapta Prabu (Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari tujuh orang anggota keluarga inti kerajaan) maka saya berbicara tentang keberlangsungan kerajaan dan juga pertimbangan politik yang akan menjaga kekuataan pengaruh dan kedudukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...