3. Duka dan Rencana

901 124 9
                                    

Majapahit, Tahun 1357 Masehi ( Beberapa Bulan Pasca Perang Bubat)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Majapahit, Tahun 1357 Masehi ( Beberapa Bulan Pasca Perang Bubat)

Matahari dan bulan terus silih berganti dan bercahaya sesuai tugasnya. Pagi harinya berjalan seperti biasa—rapat kenegaraan dan upacara keagamaan. Namun, malam selalu mengerikan baginya. Hayam Wuruk masih di titik yang sama. Nestapa itu seakan enggan pergi.

Seperti malam ini, dia terus merenung dan memandangi busana pengantinnya—yang sengaja disandingkan dengan busana pengantin milik Dyah Pitaloka. Rahangnya selalu mengeras dan tatapannya buram saat teringat kembali bagaimana cintanya itu pergi. Malamnya sering diisi dengan berandai-andai, bila saja peristiwa Bubat tak pernah terjadi, mungkin malam-malamnya tak akan semenyakitkan ini.

Mungkin malam-malamnya akan dipenuhi dengan gairah dan dia yang tak akan pernah bosan memandangi wajah cantik Dyah Pitaloka. Namun, semua kemungkinan itu adalah sebuah hal mustahil sebab cintanya telah menjadi abu dan sudah dibawa ke tanah kelahirannya—di bumi Pasundan.

Tangannya mengepal di atas meja. Dia tidak bisa. Membenci dan memberikan hukuman pada Mahapatih yang begitu berjasa besar bagi Wilwatikta adalah hal yang sangat berat dilakukannya. Namun, melihat Sang Mahapatih juga hal yang menyakitkan.

Keris yang meneteskan darah itu masih terpatri dalam ingatannya. Keris yang mengalahkan dan membunuh Prabu Lingga Buana. Sebuah kemenangan kosong yang tak ada kepuasaan di dalamnya. Dia tahu bahwa Sang Mahapatih pun menyesal dan meminta undur diri untuk sejenak ke tanah perdikannya di Madakaripura.

Hayam Wuruk berdiri, lalu tangannya menyentuh perlahan dan lembut pada busana pengantin milik Dyah Pitaloka. "Permaisuriku ...," katanya dengan suara yang bergetar.

Hyang Agung menciptakanmu saat tersenyum dan riang

Hingga terbentuklah wajahmu yang ayu tak bercela

Tapi mengapa Hyang Agung mengambilmu dengan cara paling menyakitkan

Kujang itu tak bersalah, tapi aku yang bersalah

Jika memang ini adalah karma

Maka aku akan menanggungnya seumur hidup

Dyah Pitaloka, Putri Pasundan yang elok tak bercela

Aku masih di sini, memujamu yang telah tiada

Engkau meninggalkanku yang masih terjebak dalam fana

Dyah Pitaloka, Putri Pasundan yang elok tak bercela

Selamanya, hanya kaulah permaisuri Wilwatikta

Yang terus bersemayam dalam hati dan benakku

Tenanglah Dinda, tenanglah di Swargaloka

Hingga saat nanti kita bertemu dan saling melepas rindu

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang