Akhir-akhir ini Bandung dingiiiin banget tapi tetap ada terik matahari. Jadi di mana pun kalian berada, selamat membaca bagian akhir perjalalan Sudewi dan Hayam Wuruk dan juga jaga kesehatan.
***
Tajum, Tahun 1388
Hayam Wuruk berada di tempat yang begitu lembab. Bau anyir di mana-mana. Gelap. Hanya satu pelita yang terdapat di ujung sebagai penerangan. Dia berjalan sembari meraba dinding. Lalu sebuah pekikan tawa terdengar. Semakin lama semakin keras tawa perempuan yang entah siapa hingga membuat bulu kuduk Hayam Wuruk berdiri. Secepat kilat sosok perempuan itu menghampiri dan berdiri persis di hadapannya.
"Praya."Hayam Wuruk bergumam. Menyebut nama salah satu selirnya yang dihukum atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun, penampilan Praya lebih berantakan dari yang terakhir dilihat Hayam Wuruk saat di pakunjaran.
Praya menyeringai lebar. Lengan kirinya seperti menggendong kepala manusia dan yang kanan berlumuran darah.
"Amoh ri Wilwatikta . Lalu sekali lagi Praya berteriak. "Maha Pralaya. Maha Pralaya." Suara praya memekakkan telinga hingga berdung sakit. Tawanya semakin lantang dan terdengar puas.
---
Hayam Wuruk terbangun dengan peluh bercucuran. Mimpi yang sama. Terus berulang akhir-akhir ini. Entah apa artinya. Hayam menatap Sudewi yang tertidur di sampingnya. Selama ada Sudewi, segalanya akan baik-baik saja. Hayam Wuruk meyakinkan diri, bahwa itu hanyalah kembang tidur.
***
Tajum masih tenang dan damai seperti dulu saat pertama kali menginjakan kaki di sini dalam perjalanan lawatan menemani Sang Rajasanagara. Tajum menjadi saksi akan segala keraguan dan keresahan keduanya saat itu. Saling mengungkapkan dan menguatkan perasaan masing-masing. Karena itulah Tajum menjadi istimewa.
Setelah upaya makar di Swarnabhumi mampu diredakan, perlahan pemerintahan Hayam Wuruk mulai dibantu oleh putra-putri dan menantu. Pernikahan Aji Rajanatha dan Nagarawardhani diadakan lebih dulu lalu dianugerahi pengelolaan wilayah Wirabhumi dan Lasem. Sedang Dyah Savitri yang kini bergelar Putri Kusumawardhani, setelah menunaikan tugasnya sebagai Rajakumari dan mengelola Kabalan, upacara Rajawiwaha Wilwatiktapura dilangsungkan antara Kusumawardhani dengan Raden Gagak Sali yang bergelar Wikramawardhana dilaksanakan di kotaraja begitu meriah.
Meskipun kini usia Hayam Wuruk 54 tahun, dan Sudewi berusia 49 tahun, belum ada tanda-tanda Hayam Wuruk akan menyerahkan tampuk kepemimpinannya pada Kusumawardhani. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan di kotaraja dan Tajum, tentunya bersama Sudewi, seperti sekarang ini. Keduanya lebih lepas dan bebas selama di Tajum. Rakyat Tajum sudah sangat terbiasa dengan Sang Rajasanagara dan Paduka Sori berjalan-jalan menikmati keindahan Tajum yang banyak tumbuh pohon tanjung dan kadewaguruan.
"Tajum dan kotaraja masih berada di langit dan bumi yang sama, tapi kenapa udara dan suasana di sini berbeda sekali dengan kotaraja," celetuk Hayam Wuruk.
Sudewi menatap suaminya, menyuguhkan manisan yang masih jadi favorite Hayam Wuruk dan juga minuman hangat. "Itu karena di sini Kanda Prabu tidak memikirkan pemerintahan. Apalagi akhir-akhir ini Kanda Prabu tampak gundah memikirkan kapan waktunya untuk melantik pengganti dampar kencana," jawab Sudewi.
"Terlihat, ya?" tanya Hayam Wuruk bernada canda.
Sudewi mengangguk. "Wajar Kanda Prabu memikirkannya, karena memang tidak mudah."
"Kadang aku merasa tidak percaya dengan kedua anakku terlebih lagi beberapa pejabat mendekati Aji Rajanatha dan Gagak Sali. Daripada Kusumawardhani aku mengkhawatirkan keduanya. Sedang putri kita itu lebih mirip denganmu," ucap Hayam Wuruk. Tatapannya terpusat pada Sudewi. Begitu lembut dan dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...