Siap-siap menuju ending. Selamat Membaca.
***
Di upacara kematian biyungnya, air mata Sudewi sudah mengering. Hanya jejak basah di pipi dan matanya yang masih bengkak. Sang Sri Nata setia mendampingi. Begitu terdengar kabar, Sudewi dan Hayam Wuruk segera bertolak ke Wengker.
Begitu upacara usai, Sudewi ingin tinggal di Wengker. Untuk beberapa hari ini saja, Sudewi meminta waktu untuk dirinya sendiri. Sudewi duduk di kursi tempat biyungnya biasa menenun atau menjahit. Teringat dulu ketika kecil, biyungnya mengajarkan teknik menjahit, menyulam dan menenun, namun tak satu pun yang Sudewi kuasai.
Lamunannya buyar ketika mendengar suara pintu diketuk. Sosok Pinggala mengintip di sela pintu, wajahnya menyiratkan kesedihan yang sama dengannya. "Masuklah, Ping."
Langkah Pinggala takut dan ragu, begitu mendekat gadis itu berlutut. "Gusti Paduka Sori, h-hamba ...." Pinggala tak kuasa melanjutkan ucapan, karena tangisnya kembali berderai. Wajah Pinggala terlihat kuyu dan letih, cekungan di matanya menandakan bahwa gadis itu tak bisa tidur berhari-hari.
"Pinggala, apa pun yang terjadi pada biyung adalah ketetapan Hyang Agung. Manusia tidak akan pernah bisa menghindari kematian," ucap Sudewi berusaha menenangkan.
"Hamba bersalah, seharusnya hamba menemani dan melayani Nyi Tarsih—"
Sudewi menyela."Tidak Ping. Tidak ada yang salah. Sekarang ini kamu harus menentukan hidup sendiri, apakah akan tetap berada di kedaton ini dan bekerja sebagai penenun seperti biasa, atau sudah ada pilihan atau mungkin ingin ikut bersama saya ke kotaraja?"
"Hamba belum tahu, Gusti Paduka Sori. Namun, ada yang ingin hamba sampaikan."
Sudewi mengernyit. "Tentang ...?"
Pinggala menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya saat malam itu. Termasuk dia melihat Rajadewi yang juga mengintip dan mendengar pembicaraan. "Ampun Gusti Paduka Sori. Hamba benar-benar tak sengaja."
"Jadi ibunda Rajadewi juga melihat dan mendengarnya?"
"Hamba tidak tahu pasti apa yang dibicarakan, hanya saja suara Bhre Wijayarajasa terdengar tinggi dan marah lalu keluar dari tempat Nyi Tarsih dengan wajah yang keras. Setelah kejadian itu, Nyi Tarsih sering melamun. Hamba selalu bertanya, tapi Nyi Tarsih hanya menjawab tidak dan tersenyum seperti biasa."
Sudewi mencoba memahami apa yang diceritakan oleh Pinggala. Sudewi menduga bahwa bopo dan biyungnya sempat bertengkar terlebih dulu. Apa yang menyebabkan mereka bertengkar?
"Terima kasih Ping atas informasinya. Sekarang beristirahatlah, kamu terlihat lelah," kata Sudewi.
Meskipun tampak berat, Pinggala meninggalkan Sudewi di tempat Nyi Tarsih. Sudewi mengedarkan pandangan ke sekitar kamar biyungnya, mencoba mencari apa yang sedang biyung pikirkan sebelum meninggal sehingga bisa berdebat dengan boponya. Sudewi yakin bahwa Nyi Tarsih tidak pernah memulai sebuah pertikaian pada siapa pun apalagi pada boponya.
"Sudewi ...."
Sudewi bangkit dari duduknya begitu mendengar panggilan dari Hayam Wuruk. "Kanda Prabu," balas Sudewi.
"Aku khawatir padamu," ucap Hayam Wuruk.
"Apa yang Kanda Prabu khawatirkan?"
"Banyak. Kesehatanmu adalah salah satunya."
"Saya tidak apa-apa. Kanda Prabu, bolehkah saya meminta izin untuk tinggal di Wengker selama beberapa hari?" pinta Sudewi dengan hati-hati.
Jika tidak memperhatikan bahwa baru saja mereka mengadakan upacara untuk mendiang Nyi Tarsih, Hayam Wuruk ingin menunjukkan kemarahan. Tinggal di Wengker?! Hayam Wuruk menarik napas sepanjang mungkin untuk menenangkan diri lalu menyunggingkan lebar bibirnya dan mengeluarkan suara yang lembut. "Dinda, Wengker sedang berduka, aku tahu kamu pun sedang berduka, dan keadaan di sini, kemungkinan tidak akan aman. Aku sendiri tidak bisa meninggalkan kotaraja untuk waktu yang lama. Kita pulang saja, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...