24. Sang Merak

773 91 37
                                    

Ada yang belum tidur?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ada yang belum tidur?

Yang lagi begadang, sini merapat yuk, biar ditemani Dedek Sotor.

Selamat Membaca

***

Tumapel, 1360 Masehi

Pedang kayunya bagai membelah angin malam. Tubuhnya sudah basah oleh keringat tapi dia tidak mau berhenti berlatih ilmu pedang. Padahal tidak ada keperluan apa pun yang mengharuskannya untuk berlatih. Dia pun sedang tidak ikut dalam perjalanan pelayaran Wilwatikta ke beberapa mandala, bahkan esok adalah hari pernikahannya bersama perempuan pilihan keluarganya.

Harusnya dia bahagia. Harusnya. Namun, Sotor tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Sudah empat bulan sejak terakhir dia bertemu dengan Sudewi di Kedaton Singhasari, dan sejak itu pula Sotor tidak pernah mencari tahu tentang keadaan Sudewi. Seperti permintaannya, tepat dua minggu setelah dia menghadap kedua orang tuanya, upacara tukon dilaksanakan dan penentuan tanggal pernikahannya dengan Danakitri.

Sotor berhenti sejenak dengan kedua tangan yang memegang erat pada gagang pedang kayunya. Napasnya terengah-engah dengan peluh yang menetes di dahi. Dia kembali melanjutkan ayunan pedang kayunya ketika bayangan Sudewi kembali melintasi benak. Melangkah mundur tiga langkah kemudian berlari dan menerjang sebuah patung kayu setinggi manusia—yang memang boneka ini dipergunakan untuk berlatih pedang. Matanya memejam, tapi ayunan pedangnya semakin tak terarah dan melemah.

Dia terduduk dengan kepala tertunduk sembari kedua tangannya memegang gagang pedang kayu yang ditancapkannya ke tanah. Kembali napasnya diembuskan. Kali ini lebih berat dan panjang.

Nyatanya bicara memang mudah tapi melakukannya adalah hal yang sulit. Begitulah yang kini dirasakannya.

Karena itu Sotor terus menekankan pada dirinya sendiri bahwa cintanya tidak berbalas. Sudewi bukan untuknya. Danakitri lah masa depannya. Terus saja dia mengulang-ulang hal ini bagai mantra. Hanya saja sejak kemarin dia mulai terasa berat terutama dadanya yang terasa menyempit hingga membuatnya sesak.

Untuk hari ini saja dia mengizinkan dirinya menangisi kebodohannya dan meratapi hidupnya. Hanya hari ini, begitu janjinya. Karena setelah mengucap sumpah pernikahan, Sotor tidak ingin menyakiti Danakitri, sebab gadis itu layak mendapatkan cintanya sebagai istri dan seorang wanita yang dihormati.

Hari esok dan seterusnya, hanya akan Danakitri dalam hidupnya. Bersamanya hingga menua.

Sudewi, ini bukanlah perpisahan, sebab tidak pernah ada kisah di antara kita. Seperti halnya angin, aku dan kamu hanya saling lewat, menyapa dan saling melempar senyum. Kamu benar bahwa tidak ada sebuah pengandaian, sebab takdir kita memiliki alur yang berbeda. Jika ada kehidupan selanjutnya, mungkin aku akan meminta kamu menjadi milikku, tapi bukankah itu adalah hal yang serakah. Karena aku tahu pandanganmu selalu tertuju padanya.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang