4. Tak Seperti Dulu

975 112 26
                                    


"Apa yang terjadi di Bubat  begitu cepat, dan tidak ada yang menyangka bahwa Putri Dyah Pitaloka akan mengakhiri hidupnya seperti itu," ujar Nertaja terdengar sesal dalam ucapannya.

"Kamu benar Yunda Nertaja, sampai sekarang aku masih merasa ngeri setiap perang Bubat dibicarakan, tapi aku juga penasaran bagaimana wajah sang Putri yang terkenal kecantikannya itu, yang aku dengar waktu pertama kali Patih Madhu membawakan lukisan Sang Putri, Kakang Hayam Wuruk sampai tak berkedip melihatnya," ucap Indudewi yang menimpali ucapan Nertaja.

"Kakang Hayam Wuruk terlihat masih terpukul hingga sekarang, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah masa depan Wilwatikta. Sudah beberapa bulan sejak Mahapatih Gajah Mada izin beristirahat ke Madakaripura dan Kakang Hayam Wuruk yang menjalankan pemerintahan seorang diri, meski masih mendapat pendampingan dari Dewan Sapta Prabu," papar Nertaja.

Kali ini Indudewi menghela napas panjang. "Yunda, apakah kegagalan pernikahan Kakang Hayam Wuruk berdampak pada rencana pernikahan kita berdua?" tanya Indudewi dengan ragu-ragu.

Nertaja hanya menggeleng dan mendesah lirih. "Aku juga tidak tahu. Untuk menanyakan pada Ibunda saja aku sendiri tidak berani. Aku rasa di Kedaton saat ini terasa begitu dingin dan sunyi, apakah kamu merasa demikian?"

"Aku juga merasa begitu, Yunda," jawab Indudewi lalu dia mengalihkan pandangannya pada Sudewi. "Sudewi, apakah kamu juga merasakan hal yang demikian?" tanyanya pada Sudewi yang sejak tadi hanya menjadi pendengar dalam pembicaraan mereka.

Sudewi mengerjap. Dia agak terbata saat menjawab pertanyaan dadakan Indudewi. "Wilwatikta sedang bertahan untuk lebih kuat dalam ujian yang diberikan Hyang Agung. Kakang Prabu Hayam Wuruk pasti bisa melalui semua ini."

"Ah, adik kita ini bisa bijak juga, ya, Yunda Nertaja," goda Indudewi pada adik satu ayah beda ibu itu. "Tapi Sudewi, yang aku dengar ayah kita berencana untuk memberimu izin tinggal di Kedaton Wilwatikta untuk sementara waktu daripada tinggal di Wengker."

Kata-kata yang dilontarkan oleh Indudewi membuat netra Sudewi membeliak lebar. Tinggal di Kedaton? Sungguh Sudewi tidak pernah memikirkannya, lagi pula untuk apa dia tinggal di Kedaton ini?

Namun, suara kekeh tipis Nertaja membuat Sudewi segera mengalihkan pandangannya. "Kenapa Yunda Nertaja tertawa?" suara Indudewi lah yang bertanya.

"Kalau Sudewi tinggal di Kedaton, tampaknya adikku Sotor bisa uring-uringan, kan, Sotor suka cari alasan untuk berkunjung ke Wengker," ucap Nertaja sembari mengerling pada Sudewi.

"Tapi bukankah Tumapel lebih dekat dengan Kedaton?" kali ini Indudewi ikut menggoda Sudewi.

Sudewi hanya tersenyum geli dan menggeleng. "Saya dan Kakang Sotor hanya berteman baik, Yunda."

"Oh, berteman baik," ucap Nertaja dan Indudewi bersamaan dengan saling memandang dan terkekeh.

"Eh, itu teman baiknya sedang menuju kemari." Ucapan Nertaja membuat Indudewi semakin tergelak lebar.

"Aku sangat tidak menyangka, ya, Yunda, bahwa kita berlima sekarang sudah tumbuh besar. Kita akan segera menikah, namun Kakang kita malah gagal menikah, dan kedua adik kita entah bakal menikah dengan siapa mereka ini," ujar Indudewi.

"Rahayu Yunda Nertaja, Yunda Indudewi, dan Sudewi." Sotor menyapa ketiga saudarinya itu, akan tetapi saat menyebut nama Sudewi, laki-laki yang kini telah berusia dua puluh tahun itu melirik Sudewi penuh arti.

"Sangat kebetulan sekali kamu sudah sampai di sini, jadi kamu bisa menemani Sudewi, sebab aku dan Yunda Nertaja harus menemui Ibunda Tribhuwana Tunggadewi," kata Indudewi pada Sotor.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang