47 (a) Saling Menggenggam

501 52 5
                                    

Halo ... Hayam dan Sudewi kembali update. Selamat membaca.

***

Bila kehilangan pandanganmu saja sudah begitu menyakitkan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana bila nanti kehilanganmu, Sudewi.

Angin malam berembus lebih kencang dari biasanya,  menembus dinding megah kediaman Sang Sri Nata. Pembicaraan Hayam Wuruk dan Sudewi terjeda hening saat Hayam Wuruk melepas genggamannya. Ingin Sang Sri Nata berteriak tepat di tepat di telinga permaisurinya, bahwa seumur hidupnya, Hayam Wuruk ingin menebus dosa dan mencintai Sudewi selama mungkin.

Namun, sang permaisuri akhir-akhir ini cenderung bermain dengan maut tanpa takut. Seolah memiliki tujuh nyawa. Tak ragu untuk mengeluarkan pendapat meski hanya pada orang-orang tertentu. Hayam Wuruk jadi mengerti, bahwa Sudewi tidak gila kekuasaan dan takhta. Sebab selama pertemuan dengan dewan Sapta Prabu, Sudewi cenderung diam.

Sudewi hanya memperjuangkan apa yang hak dan ketidakadilan. Namun, permasalahan kali adalah berkaitan dengan Wengker. Selain bahaya, Hayam Wuruk tidak ingin nantinya Sudewi dianggap ikut berkhianat pada Wilwatikta.

Sedang di lain sisi, Sudewi tahu bahwa Hayam Wuruk gamang dan diam, akan tetapi diam saja dalam situasi dingin antara suami dan ayahnya, dia tidak bisa hanya menjadi golek kayu.

"Kanda Prabu, saya mengetahui apa saja yang dilakukan oleh Bopo Kudamerta dan juga apa yang dilakukan Kanda Prabu di Wengker. Saya yang berada di tengah-tengah kalian berdua, apakah harus diam?" ucap Sudewi tegas.

"Sudewi ... sebaiknya—"nada bicara Hayam Wuruk meninggi. Sorot mata Hayam Wuruk menegaskan bahwa dia tidak ingin dibantah. Namun, tekad Sudewi semakin kuat. Kata menyerah tak terpintas di pikirannya.

"Izinkan saya menyampaikan dulu apa yang saya dapatkan, apa yang menjadi pemikiran saya, jika tidak tepat bahkan berdampak buruk, silakan Kanda Prabu untuk selamanya tidak mendengarkan apa pun informasi ataupun pemikiran saya, kecuali hanya berkenaan dengan tugas saya sebagai parameswari dan istri Kanda Prabu." Sudewi berusaha meyakinkan Hayam Wuruk.

Sorot mata Hayam Wuruk masih sama, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Karena itu Sudewi mengambil kesempatan untuk menjelaskan. "Bopo Kudamerta memanfaatkan para saudagar besar di Wengker untuk bekerja sama dengannya. Salah satu caranya adalah dengan memberikan keuntungan untuk menguasai pasar-pasar di wilayah kekuasaan Wengker juga membebaskan pajak dari masing-masing barang yang dijual para pedagang. Kitai nagari khususnya wilayah negeri Annam, Sukhotai, dan Khmer, bopo sudah memiliki orang kepercayaan yang bisa menjadi penghubung antara Wengker dan negeri tersebut. Akan tetapi Yuan, bopo belum memilikinya, karena itu bopo menekan secara peraturan untuk membuat para saudagar emas, gerabah dan kain agar mau berdagang di negeri Yuan. Tidak hanya untuk menempatkan orang kepercayaan tetapi juga untuk bisa berhubungan dagang dan menempatkan pusat dagangnya ke Wengker yang nantinya akan diarahkan ke wilayah sekitaran Pacitan dan Trenggalek sebagai tempat pelabuhan."

Hayam Wuruk mengernyit. Informasi Pawana dan Sudewi tidak berbeda. Akan tetapi informasi yang diberikan Sudewi jauh lebih rinci dan jelas, dibandingkan Pawana. Dia ingin bertanya dari mana informasi ini didapatkan Sudewi, akan tetapi dia menahan diri, menunggu sampai Sudewi selesai menjelaskan. Hayam Wuruk di antara takjub juga merasa bodoh di depan istrinya sendiri.

"Lanjutkan," ucap Hayam Wuruk.

"Sebenarnya bopo belum menentukan di mana yang lebih tepat untuk membangun pelabuhan. Karena bagaimanapun Wengker belum memiliki rakryan tumenggung yang memiliki kemampuan menaklukan samudera seperti rakryan Nala. Orang-orang kepercayaan bopo di Wengker hanya sebatas bangsawan dan punggawa yang belajar di kadewaguruan di tempat kita beristirahat saat di Tajum waktu itu. Atau sebagian orang-orang Daha yang lari dan hidup di Wengker. Karena itu segala keputusan dan rencana terpusat dari bopo Kudamerta."

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang