Setelah pembicaraan panjang dengan ayah dan ibundanya, Hayam Wuruk kembali ke kediamannya diikuti oleh Darya. Setiap langkahnya beriringan dengan pemikiran-pemikiran yang saling beradu. Dia tahu bahwa waktu mungkin tak memburunya, tapi tidak dengan kedudukannya sebagai Maharaja Sri Rajasanagara.
Sudah satu tahun pasca perang Bubat dan negeri ini tidak hanya membutuhkan seorang raja tapi juga pendamping raja. Dan, sudah cukup lama pula Mahapatih Gajah Mada belum kembali lagi menempati kedudukannya—duduk bersamanya di sebelah kanan—saat-saat pertemuan dengan para pejabat negara untuk membahas masalah negara dan rakyat. Setidaknya Hayam Wuruk masih berusaha untuk menstabilkan kondisi dalam negeri Wilwatikta dan beberapa negeri bawahan. Sedang untuk urusan mandala dwipantara dan hubungan kekerabatan dengan negeri atau kerajaan di luar Wilwatikta, dipercayakannya pada Rakyan Tumenggung Nala.
Hayam Wuruk mendesah. Lelah. Tubuh dan pikirannya seakan terkuras habis dan terus terserap oleh bayang-bayang ketakutan masa lalu dan tragedi Bubat. Rasa cinta dan bersalahnya pada mendiang Dyah Pitaloka teramat berat dan sungguh tak mudah ditanggungnya, padahal dia sudah menanggung takhta di pundaknya, mengemban kepercayaan keluarga dan seluruh rakyat Wilwatikta sejak di usia 16 tahun. Tapi mengapa bebannya begitu berat saat ini. Dan, seolah enggan melepasnya.
Hayam Wuruk pun tak tahu apakah dia mampu merasakan kembali jatuh cinta saat menikah nanti. Apakah adil untuk perempuan yang bersanding dengannya. Ingin rasanya dia menjadi laki-laki lalim yang mudah bermain dan membawa wanita ke peraduannya, akan tetapi statusnya sebagai raja tak bisa dia lupakan. Moralitasnya harus dijunjung tinggi agar kepercayaan rakyat dan para pejabat sama sekali tidak berkurang padanya.
Sejarah Wilwatikta mencatat bahwa pamannya—kakak ibunya—pernah memimpin negeri ini dengan catatan moral dan beberapa kali pemberontakan di dalam pemerintahan. Pamannya itu dikisahkan tidak menikah, dan merupakan anak dari seorang selir. Secara kedudukan sangat lemah, tapi dikarenakan pamannya lah satu-satunya anak laki-laki, maka permaisuri mengangkatnya menjadi putra sehingga akhirnya bisa mendapatkan gelar Yuwaraja (putra mahkota).
Hayam Wuruk bisa saja egois dengan tidak menikah seperti pamannya, akan tetapi pikirannya terus bertarung. Pernikahan yang dilakoninya nanti bukan hanya sebagai status dan untuk memperkuat kedudukannya, melainkan demi masa depan keberlangsungan Wilwatikta. Tentu dia tidak ingin negeri Wilwatikta runtuh dan kelak akan dilupakan begitu saja. Cita-cita mandala dwipantara yang digaungkan Mahapatih dan Ibundanya dulu harus dilanjutkannya. Gerbang itu telah dibuka kedua orang pendahulunya. Maka, kali ini adalah gilirannya sebagai pembuktian.
Perluasan-perluasan wilayah ke berbagai negeri bahkan di luar Jawa Dwipa sudah terlaksana dan menjadi negeri sahabat serta negeri bawahan di bawah perlindungan panji-panji Wilwatikta. Bila dia memutuskan tidak menikah, secara tidak langsung gerbang kesuksesan itu akan tertutup perlahan dan kelak membawa keterpurukan.
Dia belajar banyak ilmu sejak kecil untuk bekal sebagai Yuwaraja. Belajar sejarah negeri-negeri besar yang hancur luluh lantak akibat perang dan perebutan takhta. Mungkin hal itu bisa terjadi di Wilwatikta, tapi dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi di masa kepemimpinannya. Hayam Wuruk harus bisa membuktikan bahwa di bawah naungannya lah Wilwatikta nantinya dikenal sebagai zaman keemasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...