36. Penawaran Ibu Suri

648 90 52
                                    


Halo ..., maafkan aku yang lelet update Kakang Yayam. Karena part ini beneran ketik-hapus berulang kali karena entah apa aku nggak puas atau aku yang nggak fokus,

Jadi, bolehkah aku minta semangat dari kalian. Kasih love atau jempol juga boleh.

Ini beneran butuh komen tentang part ini,

Apa pun itu, terima kasih dan selamat membaca

***

Kepalanya penuh dengan ingatan terakhir tentang ucapan ibundanya. Semakin banyak keturunan dari seorang raja, akan berdampak pada perselisihan takhta di kemudian hari. Saat melihat putranya secara langsung, Hayam Wuruk mulai menyadari maksud dari ibundanya. Dia ingat betul bagaimana beberapa selir yang mendatanginya silih berganti setelah kepulangannya ke Kedaton. Para selir itu berhias diri secantik mungkin. Tak lupa pula membawa aneka makanan dan minuman.

Kelahiran Aji Rajanatha tentu membuat gejolak di antara para selir semakin panas. Karena itu dia akan mulai mengubah dari dirinya sendiri terlebih dulu. Begitu memasuki tempat kediamannya, Hayam Wuruk berhenti mendadak hingga mengagetkan Darya yang berada di belakangnya.

"Darya, esok perintahkan para abdi untuk membongkar bilik itu. Apa pun yang tersimpan di dalamnya, keluarkan. Jika perlu bakar saja." Perintahnya tegas sekali. Tak ada keraguan yang terselip.

Darya sontak terperanjat. Laki-laki paruh baya itu mengerjap dengan bibir yang membuka separuh. Lalu senyumnya timbul, bahkan Darya mengangguk penuh semangat. "Hamba siap melaksanakan titah Gusti Prabu."

Hayam Wuruk kembali melangkah, namun tiba-tiba berhenti lagi. "Jika Gusti Paduka Sori sudah datang, segera sampaikan untuk langsung masuk saja ke dalam kamar peristirahatanku."

"Baik, Gusti Prabu."

Ketika memasuki kamar peristirahatannya, Hayam Wuruk segera berjalan ke kiri—ke arah bilik yang menyimpan sedikit kenangan tentang mendiang Dyah Pitaloka. Baju pengantin yang masih indah berkilau, karena dia memerintahkan untuk selalu dijaga dan dirawat. Namun, sudah lama sekali rasanya dia tidak merasakan apa pun lagi saat berada di bilik itu.

Dia masih mengingat. Tentu saja. Bagaimana mungkin dia lupa darah yang bersimbah di tubuh Dyah Pitaloka yang cantik jelita itu saat direngkuhnya. Bagaimana saat Dyah Pitaloka mengembuskan napas terakhirnya. Dan, bagaimana rasa bersalahnya atas tragedi memilukan yang tak bisa dicegahnya.

Dulu, rasanya seperti ditikam ribuan pedang. Syair yang dibuatnya menggambarkan bagaimana pilu dan menderitanya dia setiap mengenang hal itu. Namun, kini rasa sakit itu hanya bagai gigitan semut. Hanya panas sebentar lalu kemudian kebas.

Dia memahami satu hal: bahwa manusia selalu mengalami perputaran kehidupan. Bahagia-sakit-sembuh-netral.

Namun, semuanya tergantung pada manusianya. Terus pada kubangan kesedihan atau mau beranjak dan keluar dari kubangan itu.

Hyang Agung menciptakanmu saat tersenyum dan riang

Hingga terbentuklah wajahmu yang ayu tak bercela

Tapi mengapa Hyang Agung mengambilmu dengan cara paling menyakitkan

Kujang itu tak bersalah, tapi aku yang bersalah

Jika memang ini adalah karma

Maka aku akan menanggungnya seumur hidup

Dia lantunkan kidung syair yang sudah dihafal mati. Dirabanya sendiri dadanya itu, lalu senyumnya terulas lebar. Benar-benar hanya seperti gigitan semut. Pedihnya telah pergi. Kini hanya ada harapan di depannya.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang