Sudewi berjalan dengan bahu yang tegap saat meninggalkan tenda ayahnya. Rasa sesak memang menghampirinya, tapi dia berusaha untuk tidak memecahkan tangisnya. Bibi Padmi yang setia mendampinginya, berjalan di belakang dengan tatapan iba. Dia tidak berjalan mengarah ke tendanya, berbelok arah ke kanan, tanpa tujuan, dia hanya terus melangkahkan kaki hingga menemukan suara gemericik air.
Tatapannya hampa pada aliran mata air yang jernih, membuat matanya semakin menyengat panas dan buram. Saat air matanya jatuh segera dihapusnya. Diam. Mengembuskan napas. Jatuh lagi, kemudian dihapusnya lagi. Terus berulang hingga akhirnya tangisnya pecah tanpa suara. Sudewi terus menggigit bibirnya saat suara isak tangisnya akan keluar. Biar hanya bumi dan langit yang menjadi saksi akan kesedihannya, sebab dia sudah berjanji untuk meneguhkan hati, tapi mengapa dia masih merasa kesepiaan dan sulit mengatasi rasa sakitnya sendiri.
Sudewi tidak mengerti apa yang membuatnya kini menangis begitu hebat. Kenyataan bahwa dia hanya permaisuri pengganti dan tidak dicintai, kedatangan Praya atau kata-kata yang diucapkanm oleh ayahnya. Baginya, yang mana pun itu, semua hanya berujung pada kesakitan yang dialaminya sejak pernikahan dengan Hayam Wuruk.
Sudewi yang tengah meluapkan kesedihannya, tidak menyadari bahwa seseorang tidak sengaja sedang mengamatinya di balik pohon rimbun yang besar. Awalnya orang tersebut ingin menyapa, tapi segera diurungkan ketika melihat Sudewi tampak meratap. Untuk beberapa saat, orang tersebut menduga-duga kemelut apa yang sedang menyelimuti sang permaisuri hingga tampak bersedih seperti ini.
Merasa tidak pantas untuk melihat kesedihan seorang wanita terlebih lagi adalah seorang permaisuri, orang tersebut hendak pergi dan kembali ke rombongan kerajaan. Namun, lagi-lagi sesuatu terjadi menarik perhatiannya. Seorang laki-laki datang dan memeluk erat Sudewi dari belakang.
***
Para emban dan prajurit sudah bersiap-siap untuk menyiapkan keberangkatan untuk melanjutkan perjalanan. Ada prajurit yang memastikan keberadaan tiap masing-masing kelompok. Dan, beberapa saat kemudian, terdengar kehebohan di tenda tempat Sudewi beristirahat lalu segera melaporkannya pada Hayam Wuruk.
"Gusti Prabu ... hamba mohon ampun hendak melaporkan bahwa Permaisuri Paduka Sori tidak ada di dalam tendanya," ucap prajurit tersebut.
"Maksudnya?!" tanya Hayam Wuruk yang masih belum menyadari apa yang sedang terjadi.
Prajurit tersebut menunduk takut. "Hamba mohon ampun, Permaisuri Paduka Sori tidak ada di dalam tendanya. Kami sudah mencarinya ke seluruh tenda di sinis, tapi tidak juga menemukan Permaisuri."
Hayam Wuruk segera bangkit. "Paman Mada, saya memerintahkan Paman untuk sedikit mengulur waktu keberangkatan dan jangan sampai berita tentang Permaisuri ini tersebar. Saya menyerahkan pada Paman."
"Gusti Prabu hendak ke mana?" tanya Gajah Mada. "Biarlah para prajurit yang mencari Gusti Permaisuri Paduka Sori, bila Gusti Prabu juga tidak ada di tempat, tetap akan menimbulkan perhatian khususnya dari para sentana raja," lanjut Gajah Mada.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...