43. Rahasia Tribhuwana Tunggadewi

686 77 21
                                    


Siang yang agak mendung agak cerah ini, selamat membaca. 

*** 

"Ada sesuatu yang ingin ibunda sampaikan padamu, Ananda Parameswari," ucap Tribhuwana saat menyambut kedatangan Sudewi di kediamannya.

Keduanya masuk ke dalam kamar peristirahatan Tribhuwana membuat Sudewi merasa tidak enak, sebab area ini adalah tempat pribadi Ibunda Ratu Tribhuwana Tunggadewi. "Bagaimana kehamilanmu?" pertanyaan Tribhuwana tulus, layaknya ibu dan anak.

"Semoga Sang Hyang Agung selalu melindungi hamba dan kehamilan hamba. Selama ini tidak ada kendala apa pun, Ibunda," jawab Sudewi.

"Ibunda senang bahwa kehamilanmu tidak berbahaya. Atas pengorbanan dan taktik luar biasa yang ananda rencanakan, ibunda yakin bahwa kelak bayi yang ada dalam kandunganmu akan menjadi orang besar," puji Tribhuwana.

"Terima kasih, Ibunda."

"Ananda, kita telah melewati banyak hal yang terjadi termasuk apa yang menimpa Selir Praya dan Selir Rupini. Ada hal yang ingin ibunda sampaikan." Ucapan Tribhuwana terdengar lebih serius dari biasanya.

Mereka duduk setengah melingkar di antara meja yang terbuat dari pohon jati dengan ukiran sulur yang cantik. Di atas meja terdapat sebuah kotak emas. Ibunda Tribhuwana meraihnya, dan membuka kotak emas itu. Hanya ada rontal dan sebuah boneka kayu dengan bentuk burung pipit.

Sudewi mengernyit saat melihat kedua benda itu. Dua benda yang mungkin saja biasa saja, akan tetapi disimpan begitu rapi di dalam sebuah kotak emas yang cantik, menandakan bahwa itu adalah benda berharga bagi pemiliknya. Begitu pikir Sudewi.

Ibunda Tribhuwana mengambil dua benda tersebut, menunjukkan pada Sudewi dan memerintahkan Sudewi untuk membaca rontal. Sudewi pun membacanya dan terkesima dengan isi kidung di dalamnya.

"Indah sekali isi kidungnya," ucap Sudewi kagum.

Namun, Sudewi tersentak saat melihat Ibunda Tribhuwana justru menahan air matanya yang menggenang di pelupuk. "Ibunda ...."

"Dia bernama Arya Bhanu. Laki-laki biasa, abdi setia Mahapatih Gajah Mada. Bersama Mahapatih Gajah Mada, keduanya kesatria yang mengabdikan diri pada Wilwatikta menghadapi berbagai pemberontakan. Hanya kisah sederhana saat ibunda dan dia di masa remaja, begitu membekas. Hingga saat ini, wajahnya, sorot matanya yang sendu, cara bicaranya, Ibunda selalu mengingatnya. Dia ... telah gugur di pertempuran Sadeng. Tak ada yang tahu kisah kami kecuali Danastri. Sebenarnya ... tidak pernah terjadi apa pun di antara kami. Hanya cinta yang kami simpan dalam diam. Hanya cinta yang mampu kami ungkapkan melalui mata. Namun, hal yang sederhana itu, membuatnya abadi. Hingga ibunda pernah berdoa, bahwa suatu saat, mungkin saja ibunda dengannya akan bisa bersatu."

Tribhuwana mengusap air matanya. Dia tak pernah membicarakan tentang laki-laki yang disebutkannya pada siapa pun secara jelas termasuk pada Hayam Wuruk. Hanya pada Sudewi dia ceritakan dengan lugas. Sedang Danastri adalah saksi hidup yang melihat bagaimana kisahnya bersama laki-laki itu.

Sudewi ikut berkaca-kaca mendengar cerita Tribhuwana. Dia tak pernah menyangka bahwa Sang Rajaputri yang agung, pembuka jalan kesuksesan Wilwatikta yang diteruskan suaminya itu, memiliki kisah yang begitu mengharukan.

"Ibunda menceritakan ini, bukan bermaksud untuk mengeluh atau untuk mengumbar. Nak, setinggi apa pun status dan kedudukan kita bahkan sekalipun kita adalah seorang Maharaja, jika kita wanita, kita hanya bisa memiliki satu laki-laki yang sah. Sedang laki-laki, mau serendah apa pun pekerjaannya, dia bisa memiliki banyak wanita, sekalipun itu adalah hasil perselingkuhan." Tribhuwana menghela napas, lalu kembali melanjutkan.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang