39. Perayaan Srada

773 93 65
                                    


Ada yang nungguin cerita ini?

Kaget nggak tiba-tiba aku update.

Happy reading.

***

Setelah pulang menemani Sang Sri Nata ke daerah pinggiran kotaraja untuk liburan, Sudewi merasa tubuhnya lebih cepat letih. Bagian perutnya sering terasa begah dan kembung. Tidak nyaman sekali. Ada setitik harapan bahwa sesuatu yang ditunggunya bersama Sang Sri Nata telah datang. Namun, Sudewi masih ragu dan takut hanya angan semata.

Kedaton sedang sibuk untuk menyiapkan upacara Srada—peringatan 12 tahun meninggalnya Sri Gayatri Rajapatni. Hiasan dari janur kuning disebar di setiap sudut Kedaton Wilwatikta. Para abdi dan emban, sibuk berlalu lalang ke sana kemari. Begitu pula Sang Sri Nata dan para punggawa kerajaan. Karena itu Sudewi tidak mungkin mengeluh sakit di saat seperti ini.

"Sebaiknya Bibi panggilkan tabib atau walyan saja, ya, Den Ayu," tawar Bibi Padmi.

Sudewi menggeleng lemah. "Tidak perlu, Bibi. Kalau tabib datang ke tempat saya, bisa memecah perhatian, terutama perhatian Gusti Prabu. Saya tidak ingin mengacaukan kekhidmatan perayaan Srada esok hari."

"Tapi wajah Den Ayu pucat sekali. Jika tidak diperiksa tabib, Bibi justru khawatir, esok hari Den Ayu malah tidak bisa maksimal mengikuti perayaan Srada. Apalagi perayaan ini akan dilaksanakan tujuh hari." Bibi Padmi masih berusaha untuk membujuk Sudewi.

Sudewi mengerjap lemah. Kepalanya pening dan berputar. "Den Ayu ..., apakah sudah mendapatkan nggarapsari (menstruasi)?"

"Sebelum berangkat menemani Gusti Prabu liburan, saya sudah mendapatkannya ...."

"Den Ayu, apa ...." ucapan Bibi Padmi terhenti ketika suara dari emban mengabarkan bahwa Selir Praya dan Raden Aji Rajanatha datang berkunjung. Bibi Padmi segera membukakan pintu. Sudewi pun segera keluar dari kamarnya dan menuju bale untuk menerima tamu.

Dari ambang pintu, Selir Praya memasuki ruangan sambil menggendong Raden Aji Rajanatha. "Rahayu, Gusti Paduka Sori," ucap Praya memberi salam dan menunduk hormat.

"Rahayu, Selir Praya, duduklah."

Mata Sudewi berbinar melihat Raden Aji Rajanatha. Menggemaskan sekali. Tangan mungilnya digerak-gerakkan, seakan merayu Sudewi untuk digendong. Sudewi menjadi lebih dekat dengan Raden Aji Rajanatha, sebab putra pertama Sang Sri Nata ikut liburan. Selama liburan, bayi mungil menggemaskan itu selalu nyaman dalam dekapan Sudewi.

"Gusti Paduka Sori apakah sehat-sehat saja? Mohon maafkan hamba, tapi hamba khawatir sebab tidak melihat Paduka Sori ikut mempersiapkan perayaan Srada," kata Praya tampak khawatir.

"Saya baik-baik saja."

"Apa Kakang Prabu Hayam Wuruk sudah mengetahui keadaan Gusti Paduka Sori?"

Sudewi menaikkan alisnya sedetik. Heran. Mengapa Praya bisa mengetahui keadaannya. Lalu ... panggilan Kakang Prabu—ah, Sudewi berusaha mengabaikannya.

"Raden Aji Rajanatha sepertinya merindukan Gusti Paduka Sori. Hamba sangat berterima kasih pada Gusti Paduka Sori yang berkenan menyayangi putra hamba seperti putra sendiri."

"Raden Aji Rajanatha bayi yang pintar dan menggemaskan. Tidak sulit menyayanginya."

"Sebagai rasa terima kasih hamba atas kebaikan Gusti Paduka Sori, hamba membawakan sedikit hadiah. Mohon untuk tidak dilihat dari nilai barangnya. Tapi hamba tulus memberikannya. Dan ..., Gusti Paduka Sori, hamba melihat keadaan Gusti Paduka Sori yang sepertinya kurang sehat, apabila Gusti Paduka Sori berkenan, Bibi Lemu bisa membuatkan ramuan kesehatan. Dulunya pernah bekerja membantu seorang acaraki (peracik jamu) di Kapulungan."

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang