Maaf, malam-malam aku gangguBiar tidurnya nyenyak baca Hayam Wuruk dulu yuk.
****
Laki-laki itu sekarang lebih sering menggenggam tangannya. Memeluknya erat saat malam tiba. Raut wajahnya pun lebih hangat dengan senyumnya yang manis. Dulu Sudewi pernah memimpikan dan berharap akan hal ini terjadi, tetapi mengapa sekarang saat harapannya terwujud, rasanya ... biasa saja. Tidak ada letupan besar di dadanya. Getaran itu hanya sebentar, cenderung pelan. Sudewi hanya mengikuti dan menanti usaha apa lagi yang akan dilakukan Sang Prabu.
Ingin rasanya Sudewi berkata, tolong berhenti. Namun, dia tidak sanggup. Dia masih menghargai usaha Hayam Wuruk sekecil apa pun. Kenapa justru kini dia lah yang merasa kejam, sebab hatinya merasa sakit saat melihat bagaimana Hayam Wuruk bersusah payah dengan kayu bakar dan kuali untuk membuat manisan. Sudewi tidak ingin Hayam Wuruk terlalu bersusah payah seperti ini, karena Sudewi takut, takut akan kembali merasakan getaran yang jauh lebih hebat bila Hayam Wuruk bersikap manis dan baik.
"Berhenti," kata Sudewi dengan lirih. Hayam Wuruk menoleh dan bergumam, menyahut Sudewi sebab tak mendengar secara jelas ucapan yang keluar dari bibir Sudewi.
Sudewi melangkah mendekat. Senyum terulas canggung dari bibirnya, bahkan Sudewi sempat menghela napas kecil terlebih dulu. "Tolong Gusti Prabu berhenti," ucapnya sekali lagi.
"Kenapa? Ini tidaklah sulit Sudewi," balas Hayam Wuruk.
Sudewi menggigit bibirnya ke dalam, menahan dirinya untuk mengucapkan apa yang dipikirkannya. Alih-alih untuk jujur, Sudewi justru berkata, "Gusti Prabu tidak terbiasa dengan membuat manisan, biarkan hamba saja, agar Gusti Prabu tidak lelah."
Sudewi bisa melihat raut wajah Hayam Wuruk yang lelah itu sempat terlihat bingung tapi sedetik kemudian pria itu tersenyum tampak tulus. "Apa aku menyusahkanmu?" tanya Hayam Wuruk lalu terkekeh tipis. "Saat itu aku hanya melihatmu membuat manisan dan tidak banyak membantu. Kali ini biar aku saja, lagi pula hanya tinggal diaduk sebentar dan menunggu matang. Karena itu izinkan kali ini aku menyusahkanmu. Ah ... maksudku membantumu."
Lihatlah senyum pria itu yang lebar. Senyum yang jarang ditunjukkan padanya. Sudewi hanya menanggapinya dengan anggukan kecil lalu memeriksa apakah manisan tersebut sudah matang atau belum. "Ini sepertinya sudah matang, kan, Sudewi?" tanya Hayam Wuruk sembari sesekali mengibaskan tangan karena asap dari kuali yang terasa panas di wajah.
"Sudah, Gusti Prabu."
"Biar aku saja yang memadamkan apinya," tukas Hayam Wuruk.
Sudewi sendiri masih termangu saat Hayam Wuruk dengan gesit memadamkan api lalu mengaduk-aduk manisan agar uap panasnya segera hilang. Sesekali Hayam Wuruk melemparkan senyum pada Sudewi yang berdiri di sampingnya. "Besok kita akan melanjutkan perjalanan dan menuju ke tempat Tumenggung Nala, mungkin kita akan bermalam di sana untuk beberapa hari selanjutnya perjalanan akan dilanjutkan menuju Tirip dan Sempur. Bila tidak terlalu mendesak untuk kembali ke kotaraja, kita bisa menikmati laut di Pacitan sebelum nanti menuju Wengker," terang Hayam Wuruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...