Selamat Membaca
***
Sudah menginjak hari kedua, akan tetapi Sudewi belum sadarkan diri. Hayam Wuruk setia menemani. Digenggamnya tangan Sudewi yang masih dingin lalu dikecupnya berulang kali. Penyesalan Hayam Wuruk datang bertubi-tubi saat melihat Sudewi tergolek lemah.
Wajah ayu dan manis Sudewi terlihat pucat. Bibir ranum yang biasanya berwarna terang nan lembut, kini kering, kusam dan pecah. Kedua mata Sudewi yang terpejam, mencetak cekungan berwarna hitam. Mengenaskan. Membuat Hayam Wuruk tak tega dengan keadaan Sudewi.
Tak hanya Sudewi yang dia khawatirkan, tapi juga keadaan bayi yang dikandung. Namun, jika harus kehilangan sang calon penerus takhta, Hayam Wuruk rela, selagi Sudewi masih bernyawa. Berharap pun, Hayam Wuruk ragu. Kesempatan itu tipis sekali. Begitulah menurut tabib dan walyan.
"Gusti Prabu ...." Suara Praya memanggil. Halus dan lembut. "Hamba membawakan makanan. Gusti Prabu tidak boleh abai akan kesehatan diri sendiri. Hamba yakin Gusti Paduka Sori akan segera sadar dan sehat kembali."
Hayam Wuruk hanya menoleh sekadarnya. Tatapannya tertuju pada Raden Aji Rajanatha. Lalu kembali berpaling dan menatap sendu Sudewi. "Gusti Prabu, makanlah. Hamba khawatir. Pun dengan Aji Rajanatha. Hamba ... hamba—"
Suara Praya tersendat oleh isak tangisnya. Tiba-tiba saja Praya berlutut sambil mendekap Aji Rajanatha. "Dinda Praya," ucap Hayam Wuruk terkejut.
"Hamba benar-benar minta maaf, harusnya hamba tidak merahasiakannya saat Gusti Paduka Sori memberi tahu pada hamba," ujar Praya.
" .... " Hayam Wuruk diam. Dia mencerna maksud pernyataan Praya.
"Sebelum perayaan Srada, hamba sempat mengunjungi Gusti Paduka Sori. Saat itu, Gusti Paduka Sori sudah terlihat dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Hamba sudah menawarkan diri untuk membantu Gusti Paduka Sori dengan baik hati menerimanya. Bibi Lemu selama ini selalu merawat hamba dengan baik dan tidak pernah menyakiti hamba. Sungguh. Tidak mungkin Bibi Lemu bermaksud mencelakai Gusti Paduka Sori apalagi kandungan Paduka Sori."
" .... "
Praya kembali tertunduk. "Saat itu Paduka Sori tidak mengatakan keadaannya. Hanya mengatakan tidak enak badan. Hamba sudah memberikan saran untuk menyampaikan keadaan Gusti Paduka Sori yang sebenarnya pada Gusti Prabu, tapi Gusti Paduka Sori menolak. Beralasan tidak ingin merepotkan Gusti Prabu sebab sudah mendekati persiapan perayaan Srada."
Hayam Wuruk mendesah pelan. "Dinda Praya, berdirilah. Kasihan Raden Aji Rajanatha."
Praya menuruti perintah Hayam Wuruk. Menghapus air matanya lalu mengusap rambut Raden Aji Rajanatha penuh kasih. "Hamba mohon maaf, tidak tanggap untuk segera memberi tahu keadaan Paduka sori. Andai ... andai hamba segera bertindak, tentu Paduka Sori tidak akan mengalami kemalangan."
Hayam Wuruk mengusap bahu Praya. Hanya sebentar. Lalu beralih mengusap kepala putranya. Raden Aji Rajanatha mengerjap gemas. Bibirnya tersungging lebar, memamerkan gigi yang baru tumbuh beberapa. Senyum sang putra menular. Namun, Hayam Wuruk hanya bisa tersenyum pedih.
"Sudahlah, Dinda. Kita cukup berdoa saja untuk keselamatan Gusti Paduka Sori. Kembalilah ke tempatmu. Aji Rajanatha butuh beristirahat."
"Hamba ingin di sini. Menemani Gusti Prabu."
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja. kembalilah." Hayam Wuruk enggan berdebat. Tenaganya sudah habis. Hayam Wuruk lelah. Baik raga dan jiwa.
"Hamba akan datang berkunjung esok hari, Gusti Prabu. Hamba mendoakan kesehatan dan keselamatan Gusti Prabu," ujar Praya tulus.
Hayam Wuruk mengangguk sekenanya. Tak menatap kepergian Praya sedikit pun. Tatapannya tertuju pada Sudewi. Karena hanya keselamatan dan nyawa Sudewi-lah yang memenuhi pikirannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...