Tatapnya memang tertuju pada wajah cantik Praya. Senyumnya yang terkembang dan dagu belah tengah yang semakin membuat selirnya itu tampak manis dan cantik. Hayam Wuruk mengakui bahwa keindahan paras Praya adalah hal yang menakjubkan dan memiliki daya tarik luar biasa. Hanya saja saat ini benaknya terus terputar apa yang dilihatnya tadi. Bagaimana Sudewi dan Sotor saling tatap dan pembicaraan mereka yang begitu akrab. Adiknya itu bahkan tak ragu mengungkapkan hatinya meski tak secara gamblang.
Aku ini pungguk yang ingin bertukar hidup dengan matahari agar bisa hidup berdampingan dan mendampingi rembulan. Tapi pungguk hanyalah pungguk, yang hanya bisa berangan-angan.
Kalimat itu terus terngiang. Bukankah adiknya itu begitu keterlaluan dan harus mendapatkan hukuman setimpal? Mungkin saja debar jantungnya yang kini berdetak cepat dan engah napasnya yang terasa sesak adalah karena penghinaan Sotor pada dirinya sebagai raja. Surya Wilwatikta.
"Gusti Prabu tampak lelah, adakah yang bisa hamba lakukan agar bisa menyegarkan pikiran dan raga Gusti Prabu?" tawaran Praya membuat Hayam Wuruk. Ditatapnya Praya lebih dalam. Cantik. Malam ini Praya tampak sedang menyiapkan dirinya untuk menghiburnya.
"Benar. Sepertinya memang aku sedang lelah. Apalagi esok kita akan melanjutkan perjalanan. Sebaiknya juga Dinda Praya kembali ke kamar peristirahatan."
Praya mengerjap lambat mendengar ucapan Hayam Wuruk. "Mohon ampun Gusti Prabu, izinkan hamba menemani Gusti Prabu, hamba khawatir terjadi sesuatu pada Gusti Prabu," ujar Praya dengan nada cemas.
"Aku baik-baik saja, Dinda Praya. Ada Darya yang akan menjagaku. Kembalilah. Mungkin juga karena aku minum tuak beras buatanmu cukup banyak, sehingga sekarang ini kepalaku terasa pening. Jadi, aku ingin beristirahat saja. Kembalilah dan beristirahat." Hayam Wuruk lantas berdiri. Mempersilakan Praya dengan membuka pintu kamarnya.
"Hamba mohon undur diri. Bila terjadi apa-apa, Gusti Prabu bisa memanggil hamba kapan pun," pinta Praya dengan lembut.
Hayam Wuruk menanggapinya dengan anggukan. "Terima kasih."
Begitu Praya telah keluar dari kamarnya, Hayam Wuruk kembali duduk. Memandang ke sekeliling kamarnya. Segala rencananya malam ini berantakan. Harusnya dilewatinya bersama Sudewi. Hayam Wuruk memandangi lontarnya. Telah digoreskannya sebuah kidung berisi kisah yang pernah didengarnya saat pembelajaran masa Yuwaraja dulu. Dia menuliskannya kembali. Menggubahnya lebih dramatis dan indah. Hayam Wuruk ingin Sudewi lebih dulu yang membacanya dan memberikan pendapatnya.
Entah mengapa dia ingin Sudewi yang lebih dulu tahu. Mungkin karena Sudewi-lah yang pernah memergokinya membuat sajak kidung dengan sembunyi-sembunyi saat itu, atau mungkin karena Sudewi pernah memujinya, mengatakan bahwa melakukan hal yang disukai adalah hal yang baik dan menyenangkan. Harusnya dia bisa menyeret paksa Sudewi untuk ke kamarnya saat ini juga atau mendatangi kamar permaisurinya itu—yang mungkin menunggunya. Atau seharusnya dia menerima tawaran Praya. Menikmati malamnya bersama selirnya itu dan mencumbunya sepanjang malam. Namun, Hayam Wuruk hanya terus termenung di dalam kamarnya. Tak beranjak ke mana pun dan tak melakukan apa pun hingga matanya mulai berat dan perlahan terpejam. Membiarkan malam menelan semua lelah dan rumit hati serta raganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...