11. Takut Menerka

860 110 60
                                    

Hayam Wuruk terbangun saat merasakan pergerakan di dekatnya, dan menemukan bahwa Sudewi sedang menatapnya dengan pandangan yang lemah dan sayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hayam Wuruk terbangun saat merasakan pergerakan di dekatnya, dan menemukan bahwa Sudewi sedang menatapnya dengan pandangan yang lemah dan sayu. "Apakah aku mengganggu tidurmu?" tanya Hayam Wuruk dengan suara serak.

"Tidak, Kakang Prabu," jawab Sudewi dengan sebuah senyuman tipis.

Hayam Wuruk pun ikut duduk dan bersandar pada sisi kepala ranjang permaisurinya. Rambutnya yang panjang melewati bahu itu, dibiarkannya tergerai tanpa mahkota di atasnya. Sambil menghela napasnya panjang, Hayam Wuruk mengunci pandangannya pada Sudewi. "Apa yang ada dalam pikiranmu saat menyembunyikan sakit dariku, Sudewi?"

Hayam Wuruk merutuki dirinya sendiri atas pertanyaannya—yang kurang ajar. Dia tahu seharusnya dia menanyakan bagaimana keadaan Sudewi setelah permaisurinya itu sadarkan diri, bukan mencercanya seperti ini.

Namun, alih-alih terkejut, Sudewi lagi-lagi hanya tersenyum tipis. "Saya hanya memikirkan, Kakang Prabu," jawab Sudewi terdengar begitu ringan. Justru kini Hayam Wuruk-lah yang terkejut dengan jawaban Sudewi. "Saya hanya kelelahan Kakang Prabu. Beberapa hari yang lalu saya sedang belajar menenun dan ingin membuat sebuah pakaian. Ini kelalaian saya."

"Dan, kelalaian kamu ini akan membuat banyak orang berpikir bahwa seorang raja tidak memedulikan permaisurinya," balas Hayam Wuruk dengan nada tajam.

"Saya tidak bermaksud seperti itu, Kakang Prabu." Sudewi masih tampak lemah dan sayu, akan tetapi Hayam Wuruk justru merasakan bahwa wanita di depannya ini berusaha terlihat tak gentar.

"Istirahatlah. Esok Ibunda akan kembali dari Rimbi dan mungkin akan bersama ibumu dan juga biyung," kata Hayam Wuruk sembari bangkit dari ranjang Sudewi, kemudian melihat persediaan obat dan ramuan dari tabib dan walyan untuk Sudewi yang berada di atas meja. Pandangannya menyisir seluruh kamar Sudewi di tiap sudut hingga bagian langit-langit kamar.

Sebenarnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Hayam Wuruk hanya sedang membuang waktunya—atau lebih tepatnya dia ingin lebih lama berada di sisi Sudewi. Namun, entah mengapa saat Sudewi sudah tersadar dan menatapnya, dia justru merasa bodoh. Ada sebuah dorongan dalam dirinya untuk mendekap tubuh Sudewi, tapi dia menahannya. Tangannya bahkan beberapa kali dikepalkan, agar tak mewujudkan hayalannya itu.

Setelah menghela napasnya panjang, Hayam Wuruk hendak mengayunkan langkahnya. Namun, suara Sudewi menjedanya. "Terima kasih, Kakang Prabu sudah menemani saya." Ucapan itu hanya diucapkan Sudewi dengan nada biasa tanpa rayuan, tapi justru mampu membuat kepalanya berisik. Alih-alih meninggalkan kamar Sudewi, Hayam Wuruk justru berbalik kemudian melangkah mendekati Sudewi yang masih duduk di atas ranjangnya.

Tubuhnya sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang berada di belakang. Matanya kembali mengunci pandangan Sudewi. Menikmati setiap gerakan lambat dari kedua mata Sudewi yang tampak indah. Desis napas keduanya seakan saling beradu. Kini di kepalanya terasa bersorak-sorai. Sedang gulungan ombak dalam perutnya terasa kian besar hingga membuat jantungnya berdebar kencang. Bibir pucat Sudewi yang sedikit terbuka itu, seakan mengundangnya untuk mencecap dan merasakan kembali manisnya ciuman Sudewi dalam ingatannya.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang