17. Pertukaran

659 108 49
                                    

Berkali-kali Sudewi menghela napas kemudian diembuskannya pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berkali-kali Sudewi menghela napas kemudian diembuskannya pelan. Setiap air matanya akan luruh, Sudewi mendongak, menghela napas lagi lalu mengatupkan bibirnya. Hingga usahanya yang terakir, Sudewi tak mampu menahannya. Tangisnya pecah tanpa suara dengan bibir yang terkatup rapat.

Dia ingin mendengar cerita Bibi Padmi, tapi seolah mengerti keadaan, emban paruh baya itu hanya diam di sampingnya. Tidak berani menyentuhnya. Memberi ruang pada Sudewi untuk menumpahkan kesedihannya. Untuk beberapa saat lamanya, Sudewi hanya seperti ini, sedang agak jauh dari tempatnya menepikan diri, suara riuh musik yang dialunkan para Vaditra masih terdengar.

"Wah, wah, ada yang lagi pesta sendiri rupanya," ucap Sotor dari belakang yang hampir saja membuat Bibi Padmi terlonjak kaget. "Eh, maaf, Bibi, saya tidak bermaksud untuk membuat kaget," kata Sotor pada Bibi Padmi yang mengangguk hormat dan tersenyum pada pria muda yang kini rambutnya yang sebahu itu diurai. Sotor hanya memakai hiasan yang diikatkan melingkar di kepala.

Sotor menatap sekilas pada Sudewi, lalu tatapnya beralih pada nampan yang tergelatak di atas batu besar. "Wah, ini kinca hangat?" tanya Sotor yang mendekat dan menyentuh gelas perunggu tersebut. Bibirnya mengerucut. "Sayang sekali kinca ini tidak hangat, padahal sepertinya ini enak." Kemudian tanpa minta izin, Sotor mengambil talas rebus yang di atasnya ditaburi parutan kelapa. "Ini enak. Sudewi, ayo makan!" ajak Sotor dengan mulut penuh makanan.

Sotor menarik tangan Sudewi dan memberikan tempak duduk di sebelahnya. Sedang Bibi Padmi berjalan mundur ke belakang, memberi jarak, tapi juga tidak meninggalkan Sudewi. Bibi Padmi tahu bahwa membiarkan Sudewi dan Sotor berdua saja di malam hari di tempat ini, akan berbahaya bagi Sudewi yang memiliki kedudukan sebagai Permaisuri.

Sotor meminum kinca yang sudah tidak lagi hangat itu, kemudian menutup makannya dengan manisan. "Aku sangat bersyukur bisa diizinkan untuk ikut dalam lawatan kali ini," ungkap Sotor sembari pandangannya tertuju pada Sudewi.

Lembut dan hangat. Pandangan seperti ini yang tidak pernah Sudewi dapatkan dari Hayam Wuruk. Sudewi tidak ingin berangan terlalu tinggi, dia hanya ingin dihargai sebagai istri dan permaisuri. "Apa yang Kakang Sotor syukuri?" sahut Sudewi.

"Kamu."

Sudewi membulatkan matanya saat mendengar jawaban Sotor. Sedang Sotor hanya terkekeh tipis melihat keterkejutan Sudewi. "Kamu tahu, Sudewi, hidup bukan hanya pilihan, tapi hidup juga sebuah pertukaran. Layaknya sebuah perdagangan, apa yang kita pilih akan ditukar sesuai dengan nilai yang ditentukan. Pertukaran itu bisa membuat kita bahagia, bisa juga tidak, tapi ... bisa juga bahagianya ada di sana."

"Di sana?" tanya Sudewi yang tak memahami maksud Sotor.

Sotor mengangguk. "Di sana. Di suatu waktu, tempat dan masa yang tidak akan pernah kita ketahui kapan terjadinya."

Sudewi mengernyit. "Apakah berburu dan bertemu dengan banyak orang-orang baru bisa membuat manusia sebijaksana dirimu?"

Sotor menopang dagunya dan begumam dengan nada bercanda. "Aku menurutmu aku bijaksana dan tampan?" tanya Sotor sambil tertawa renyah.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang