Selamat Membaca. Bagi kalian yang sedang dalam perjalanan, semoga bab ini menjadi teman perjalanan mudik kalian. Terima kasih.
***
Hari mulai senja, tiba waktunya untuk persiapan doa di tempat pemujaan Dewa Siwa. Kedaton mulai sedikit lengang. Sebab beberapa para tamu dari negeri sahabat, sudah meninggalkan kotaraja. Sejak peristiwa beberapa hari lalu di malam hari kedelapan perayaan Srada, penjagaan Kedaton diperketat khususnya di tempat kediaman Paduka Sori.
Praya bersama Bibi Lemu yang menggendong Raden Aji Rajanatha, menuju tempat pemujaan. Membakar dupa, memanjatkan doa dan memohon pada Dewa untuk memberkahi dan melindungi setiap apa yang dilakukannya. Dia dibesarkan menjadi perempuan yang bertata krama dan berpengetahuan akan kitab-kitab agama dan tata sila.
Praya menyadari bahwa di Kedaton ini dia bukan siapa-siapa. Dia ingin diterima dengan baik, bukan direndahkan karena hanya gadis biasa dari dukuh lereng Pawitra. Bukan putri bangsawan atau bahkan putri dari kerajaan wilayah mandala Wilwatikta. Semenjak merasa direndahkan oleh beberapa orang selir, Praya bertekad bahwa dia bisa menggungguli selir lain dan menjadi selir paling disukai Sri Nata.
Dia pernah merasakan itu. Beberapa bulan setelah dia diangkat menjadi selir dan menemani perjalanan lawatan akbar sang Sri Nata, Praya-lah yang paling sering menemani. Namun, kesenangannya sekejap berubah. Entah apa yang terjadi, Sri Nata Rajasanagara tak menatapnya sememuja dulu.
Karena itu, Praya bertekad untuk kembali mengambil alih tempatnya. Apalagi saat mengetahui dirinya hamil, maka dia harus menyingkirkan segala hal kemungkinan terburuk yang akan bisa membuatnya kehilangan perhatian, cinta dan masa depan putranya. Jika bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan bisa melindungi dia dan putranya. Begitu pikir Praya.
Setelah menghaturkan doa, Praya menatap Sang Dewa lamat-lamat. Ampuni hamba. Dia mengucapkannya sebanyak tiga kali. Lalu berbalik dan berkata pada Bibi Lemu yang tampak melamun. "Bibi ...."
"Maafkan Bibi, Nimas," sahut Bibi Lemu yang tak berani menatap mata Praya langsung.
Praya jalan terlebih dulu, diikuti Bibi Lemu di belakangnya. "Hari ini Bibi istirahat saja. Tidak perlu menemani Aji Rajanatha. Nanti, saya akan meminta para emban dapur membuatkan makanan dan minuman yang Bibi sukai," kata Praya.
Alih-alih senang mendengarkan ucapan Praya, Bibi Praya malah semakin tertunduk. Dekapannya pada Aji Rajanatha semakin kuat, bersamaan dengan rasa takut yang menyergap. Bibi Lemu menggigit bibir keringnya kuat-kuat untuk menahan tangisnya.
Bibi Lemu merasa akan ditumbalkan sang majikan. Dia tak butuh makan enak. Yang dibutuhkan adalah nyawanya selamat. Sampai sekarang, Bibi Lemu tak habis pikir bahwa Nimas-nya yang cantik jelita, lembut dan bijak, kini telah berubah menjadi orang yang tamak.
Praya menghentikan langkahnya, hingga membuat Bibi Lemu yang sedang gelisa menubruk punggungnya. "Maaf, maaf, Nimas," ucap Bibi Lemu bersalah.
Praya membalasnya dengan senyuman. "Apakah Bibi takut bahwa saya akan membahayakan Bibi?" tanya Praya.
Bibi Lemu menggeleng cepat. "Tidak Nimas. Bibi yakin—"
"Bibi seperti biyung saya, sehingga tidak mungkin saya mencelakai Bibi," sela Praya.
"I-iya, Nimas."
Praya kembali melangkahkan kaki. Mengangkat dagunya dan tatapan lurus ke depan. Tak ada gentar. Sebab Praya yakin bahwa esok segalanya akan usai. Dia akan menutup cerita ini dengan sempurna. Apa pun hasilnya pada apa yang terjadi pada Sang Paduka Sori, dia sudah tak peduli. Apalagi cinta Sang Sri Nata.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...