48. (b)

363 47 3
                                    


Selamat Membaca

***

"Ping, hari ini kita pergi lagi bertiga dengan rama?" tanya Wuri sembari mengamati Pinggala dari atas ke bawah.

Pingggala tersedak tiba-tiba hingga batuk lalu memukul pelan dadanya sendiri. Pertanyaan Wuri membuat pipinya bersemu. "Bukan. Kita akan ke pasar membeli beberapa kain," jawab Pinggala cepat.

"Ke Pasar? Waktu bertemu di pasar, bibir Ping tidak merah. Rambut Ping cuma digelung biasa, baju pun—"

"Ini karena Gusti Paduka Sori memberikan baju baru juga pemerah bibir, jadi hari ini Ping sedikit berdandan," sela Pinggala. Duh Gusti, hamba bisa mati muda kalau jadi biyung anak ini.

"Ping lagi katuridan?!" tanya Wuri yang masih penasaran.

Kali ini Pinggala semakin tergagap. "Eh, dari mana tahu katuridan. Bocah cilik tidak boleh katuridan."

"Kata emban dapur rama lagi katuridan. Karena akhir-akhir ini rama sering membeli kain bagus untuk perawan."

Ping menghentikan langkah lalu menyejajarkan tubuhnya dengan Wuri. "Kalau rama yang lagi katuridan biarin saja. Tapi Wuri jangan mau punya biyung tiri yang galak, jahat dan jelek. Den Ayu yang cantik menggemaskan, sekarang kita sedang ada tugas negara penting jadi Wuri harus ikut Ping dulu, ya."

"Siaga, Ping!" seru Wuri.

Pinggala mengembuskan napas, masih menggenggam tangan Wuri erat. Tuan Manggali katuridan? Pada siapa? Pinggala segera menggeleng. Kembali dia menarik napas panjang dan mengedarkan pandangan pada orang yang berlalu lalang di pasar kotaraja Wengker. Dia harus menjalankan tugasnya dengan baik, bukan memikirkan Tuan Manggali. Lagi pula gadis jelata sepertinya, hanya akan berstatus selir atau gundik bila bersama dengan Si Tuan Bangsawan.

Dan pinggala tidak ingin mengulang kisah yang sama seperti kakak perempuannya yang berakhir mengenaskan setelah menjalani siddha ata din (perceraian di zaman Majapahit).

Perhatian dan kesedihannya akan masa lalu segera beralih ketika melihat sesuatu sesuai petunjuk dari Gusti Paduka Sori. "Wuri ayo kita ke sana."

Bibirnya terulas lebar dan binar matanya berseri-seri ketika melihat berbagai jenis kain dengan aneka warna. Sulur-sulurnya begitu indah. "Wah, Ki, wdihan (kain, biasanya sebutan untuk kain yang digunakan laki-laki) ini bagus sekali," puji Pinggala berlebihan.

"Mata Nini memang jeli. Wdihan ini memang bagus bahannya," balas sang penjual tersenyum ramah.

Jelas saja bagus, ini wdihan yang dibuat kami para macadar di tempat Nyi Tarsih. Pinggala menggerutu dalam hati. Dia tentu mengenali bahwa kain ini dibuat di tempat Nyi Tarsih sebab terdapat lambang sayap kupu-kupu yang hanya separuh di ujung kain.

"Ini dibuat di mana, Ki, bahannya halus sekali. Harganya Ki?"

"Ini buatan kitai nagari dari Campa." Lalu penjual tersebut menunjukkan kain yang lain berwarna merah bata. "Kalau yang ini paling bagus, dari Cina, kain sutra dan satin, paling mahal."

"Paman bohong! Ini buatan Wengker," sahut Wuri.

Si penjual geram. Namun masih memaksakan senyum. "Nimas mau beli yang mana. Meski dari Campa dan Cina, kain-kain ini harganya murah. Semuanya cuma 100 kepeng saja."

"Mahal sekali! Ping jangan beli di sini, minta rama saja. Tinggal bilang dan tunjuk!" timpal Wuri.

"Bocah manis. Ini tidak mahal karena ini memang buatan kitai nagari jadi membutuhkan waktu lama di perjalanan, naik kapal lewat laut. Paman cuma mengambil untung sedikit," ucap si penjual memelas.

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang