8. Keikhlasan

844 109 39
                                    


Haloooo, selamat membaca yaa❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Haloooo, selamat membaca yaa❤

***

"Apa yang kamu pikirkan memang tidak salah, Sudewi. Sebab sebentar lagi kita akan menikah dan kamu akan memiliki takhta yang dipuja banyak wanita. Bukankah menjadi permaisuri dari anak seorang selir sepertimu adalah hal yang membanggakan."

Setelah mengucapkan perkataannya, Hayam Wuruk segera berlalu dan membuka pintu kediamannya. Meski badannya masih gemetar, Sudewi bisa bernapas lega sembari memejamkan matanya. Dia menggigit bibirnya—menahan sesak yang kini seakan menghimpit dada. Rasanya ingin dia berlari dari Kedaton sebelum sangkar emas ini akan mengurungnya selama-lamanya. Namun, dia bisa apa. Gelar sudah disematkan padanya. Dan, sebentar lagi upacara Tukon akan berlangsung.

Impiannya sebagai gadis hanya sederhana—sebab yang diinginkannya hanyalah menikah dan menjadi satu-satunya. Akan tetapi mengapa Sang Hyang Agung malah akan memberikan sebuah anugerah yang justru menjadi beban di pundaknya. Permaisuri. Sudewi tidak pernah menginginkannya.

Kepalanya tertunduk. Lemah dan tak berdaya. Bersamaan dengan raga dan jiwanya yang menjerit, Sudewi menangis lirih dalam kemegahan kamar yang disiapkan untuknya. Kamar dengan ukiran salur berhias emas itu tampak indah, bahkan bagian dinding yang terdapat meja dengan darpana (cermin) di atasnya itu terdapat ukiran bunga tanjung. Indah. Namun, tetap tak dapat membuatnya merasa nyaman dan aman.

Beberapa saat lamanya dia hanya bisa menangis dan meratap, sembari sesekali punggung tangannya mengusap air matanya yang luruh. Dihelanya napas panjang. Sesaat dia hanya terdiam, melihat wajahnya sendiri dari pantulan cermin dengan ukiran sulur cantik di pinggirnya. Dia ... terlihat menyedihkan. Sudewi tersenyum pedih bersamaan dengan satu tetes air matanya yang jatuh. Kini dia mengerti, apa maksud pembicaraan terakhirnya dengan Sotor.

Laki-laki yang dianggapnya sebagai teman terbaik dalam hidupnya. Kesamaan nasib sebagai anak selir membuat Sudewi tak canggung saat berbicara dan bercanda dengan laki-laki itu.

Sudewi tengah memperhatikan setiap mangkuk-mangkuk dari tembikar. Mangkuk dengan berbagai ukuran dan ukiran itu selalu menyita perhatiannya saat mengunjungi pasar di kotaraja Wengker. "Den Putri, masih ingin membeli mangkuk-mangkuk ini?" tanya Emban pengasuh Sudewi.

Sudewi pun menoleh. Senyumnya terukir hangat dan cerah dari wajahnya yang berbentuk oval dengan binar mata yang cantik. "Bibi, bukankah mangkuk ini cantik?" alih-alih menjawab, Sudewi malah balik bertanya.

"Gusti Ayu Ratri bisa kembali berceloteh bila Den Ayu terus-menerus mengumpulkan mangkuk-mangkuk ini," ucap Bibi pada Sudewi. Kemudian wanita paruh baya itu berkacak pinggang sembari membuat gestur wajah yang dibuat untuk meniru ibu dari Sudewi. "Sudewi! Kamu membeli mangkuk lagi?! Apa kamu berniat menumpuk mangkuk-mangkuk itu hingga seperti puncak Kampud!" (Kampud: nama kuno dari Gunung Kelud)

MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang