Masa Penabalan Takhta
Wilwatikta berduka. Sosok Rajapatni yang berjasa besar bagi Wilwatikta, kini telah menyelesaikan tugasnya di dunia. Di masa senjanya, Gayatri—neneknya—itu mengabdikan diri untuk menjadi biksuni. Pemerintahan dijalankan oleh ibundanya—Tribhuana Tunggadewi—sebagai perwakilan neneknya yang seharusnya lebih berhak akan takhta Majapahit.
Ibundanya pernah bercerita saat dia pertama kali diangkat menjadi Yuwaraja—Putra Mahkota—bahwa masa bakti ibundanya memimpin Majapahit akan bergantung kehidupan neneknya. Ibundanya mengatakan: saat waktunya tiba kelak, takhta Wilwatikta akan berada di genggamannya.
Namun, hal yang tak pernah diduganya adalah di usianya yang masih sangat muda, takhta Wilwatikta benar-benar dalam genggamannya. Enam belas tahun. Dan, rasanya sangat sulit untuk percaya bahwa di usianya saat ini, sebentar lagi akan tiba waktunya penabalan.
Dia mulai gelisah. Pelajaran dari para Resi sulit untuk diikutinya akhir-akhir ini. Jika malam tiba, dia gunakan untuk membaca beberapa kidung dan beberapa kitab-kitab sastra. Namun, gelisahnya tidak juga padam. Seperti hari ini, saat waktu penabalan tiba.
Alih-alih menuju Bale Manguntur sebagai tempat penabalan, Hayam Wuruk malah berbelok ke arah lain, tepatnya ke selatan—di mana Kedaton bagian selatan adalah tempat untuk para selir atau keluarga raja lainnya. Kebetulan sekali Kedaton tengah sibuk mempersiapkan acara penabalan raja baru. Baik emban dan para bekel penjaga, tengah sibuk ke sana kemari, sehingga fokus di bagian selatan Kedaton tampak lenggang.
Hayam Wuruk sendiri masih memakai pakaian biasa, bukan pakaian yang akan digunakan untuk acara penabalan takhta. Sebagian rambutnya digelung keling biasa, dengan tali ikat warna cokelat sederhana tanpa motif. Tak ada perhiasan semacam kalung khusus yang digunakan Yuwaraja dan perhiasan lainnya, penampilannya saat ini lebih mirip sebagai remaja biasa dari kalangan jelata meski kulitnya yang bersih dan berwarna lebih cerah, tak dapat dikatakan sebagai pemuda dari kalangan rakyat.
Bahunya tiba-tiba menegang ketika mendengar suara gaduh dari arah belakang. Dia takut penampilannya saat ini akan diketahui oleh kalangan Kedaton dan bisa berakibat mempermalukan dirinya dan juga keluarga raja—terutama ibundanya. Dia segera mempercepat langkahnya ketika suara-suara cekikan tawa dan entah pembicaraan apa, semakin terasa kian dekat. Tanpa pikir panjang, Hayam Wuruk membuka sebuah ruangan yang entah milik siapa. Dia memilih untuk bersembunyi di balik pintu, sembari telinganya didekatkan ke pintu untuk mendengar siapa yang tengah datang.
"Yang dikatakan Sotor benar, Sudewi, penabalan Kakang Hayam Wuruk masih cukup lama, ayo cepat ambil manisan yang katanya enak itu."
Hayam Wuruk memicingkan matanya meski dia tidak bisa melihat siapa yang berbicara, tapi dia jelas mengenali suara adik perempuannya itu. Kemudian suara Indudewi—sepupunya pun ikut menyahut.
"Iya, iya, kita berdua sudah tidak sabar, masa hanya Sotor saja yang boleh mencicipi manisan buatan kamu."
Entah apa yang sedang dibicarakan adik-adiknya itu, Hayam Wuruk pun tak tahu, tapi kali ini dia mendengar suara kekehan dari Sotor dan ikut dalam pembicaran ketiga gadis remaja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATAHARI TERBELAH DI WILWATIKTA (TAMAT)
Historical FictionBlurb: Tragedi Perang Bubat tidak hanya menorehkan jarak antara Majapahit dan Pasundan, tapi juga luka dan duka bagi dua kerajaan tersebut. Gugurnya Dyah Pitaloka-calon permaisurinya, membuat Hayam Wuruk melewati masa-masa sulit. Namun, Wilwatikta t...