20. Keputusan Final.

866 23 0
                                    

Selamat membaca...

----

Veron melirik kaca mobil sambil tertawa sesekali. Tentu saja itu karena pemandangan Kara yang sedari tadi hanya diam menunduk.

Rasanya Deka dan Kara memang layak di sebut sebagai pasangan aneh mengingat tabiat mereka. Semenjak masuk ke dalam mobil, Veron bisa merasakan aura tidak senang yang di pancarkan oleh Deka. Veron tebak, sepasang kekasih itu tengah bertengkar.

Seingat Veron, kedua pasangan ini baru jadian selama beberapa bulan. Tapi perubahan Kara terasa sangat signifikan. Mulai dari gaya rambut, pakaian, bahkan penampilannya pun sangat jauh berbeda.

Sexy looks, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan perubahan pada diri Kara. Veron sampai tidak habis pikir dengan pengaruh buruk Deka yang tidak main-main.

Bayangkan saja, Kara yang dulu terlihat lucu dengan pipi chubby-nya malah berubah sedrastis itu. Pipi chubby Kara pun sudah hilang entah kemana, di gantikan oleh pipi yang terlihat sangat tirus.

"Lo yakin mau aborsi, Ra?" tanya Veron penasaran.

Sejujurnya Veron hanya ingin memastikan apakah keputusan untuk aborsi itu memang murni karena keinginan Kara atau paksaan dari Deka, sahabat brengseknya.

Respon Kara yang hanya mengangguk membuat Veron tidak bisa menahan senyumnya. "Sialan lo, Ka!" umpat Veron tertawa.

Padahal Veron kira Kara tidak akan pernah senekat itu. Tapi rupanya, Kara lebih dari apa yang Veron pikirkan. Bukannya tidak tahu tapi Veron lebih memilih pura-pura tidak tahu kalau Kata telah di cekcoki berbagai macam obat.

Awalnya Veron tidak yakin, tapi saat melihat Kara datang ke kelas mereka dengan mata yang memerah membuat Veron benar-benar yakin. Kalau Kara sudah kecanduan Narkoba.

Tentu saja karena Veron pernah menggunakannya. Walaupun Veron tidak segila itu sampai kecanduan. Veron sadar kalau efek Narkoba memang segila itu, hingga membuat pemakainya merasakan euforia yang fatamorgana.

"Lo udah reservasi sama Dokternya kan?" tanya Deka memastikan. "Hmm... Tenang aja, semua beres." Jawab Veron.

"Butuh waktu berapa lama buat sembuh? Jangan sampai orang-orang jadi curiga!" mata Deka berkilat amarah menatap jalanan di depannya.

"Kalau cewek gue dulu sih, habis satu minggu." Ungkap Veron.

Deka menganggukkan kepala. "Selama itu juga lo harus bikin alibi supaya orang-orang enggak curiga kalau gue sama Kara enggak sekolah. Gue percaya-in hal gini-an sama lo."

"Tenang aja. Gue ahlinya!"

Begitu sampai di rumah sakit yang di tunjukkan oleh Veron, entah kenapa Deka merasakan jantungnya berdebar dengan kencang.

Bagi Veron si berandalan gila, tempat semacam ini pasti sudah menjadi hal biasa baginya. Deka tidak henti mengumpat dirinya sendiri yang harus se-sial sekarang.

"Lo yakin kalau mereka akan tutup mulut? Gue enggak mau ribet lebih dari ini." Deka menatap sekelilingnya dengan was-was.

Sementara Veron hanya mendengkus. "Gue udah terlalu sering guna-in rumah sakit ini dan fine aja. Lo cukup kasih uang pasti mereka tutup mulut."

Deka tidak bisa berpikir saat ini. Kepalanya sudah terlalu pusing memikirkan hal-hal tidak terduga yang terjadi. Bahkan Deka masih mengenakan pakaian yang sama selama tiga hari. Untuk sekedar mandi pun, Deka tidak terpikirkan.

"Ayo!"

Veron memimpin jalan di ikuti oleh Deka dan Kara. Keduanya di bawa menuju lantai tiga salah satu ruangan untuk melakukan aborsi.

Kara meneguk ludah susah payah saat melihat Veron sedang berbicara dengan seorang Dokter perempuan yang terlihat seumur-an Maminya.

"Masuk!"

Langkah Kara terasa sangat berat. Rasanya Kara terlalu emosional saat ini padahal Kara yang menginginkan ini semua. Kara berhenti sebentar untuk menarik nafas dan menetralkan detak jantungnya yang menggila.

Di dalam ruangan itu sudah terdapat banyak Dokter dan perawat. Kara naik ke tempat meja operasi setelah mengganti pakaian sesuai arahan salah satu Dokter.

Tubuh Kara bergetar saat Dokter membuka pahanya dan menyuntikkan anestesi lokal tepat di bagian intim milik Kara. Rasa sakitnya tidak lebih dominan dari rasa takutnya.

"Sshh..." rintih Kara.

Dokter mulai memasangkan alat pemantauan vital sebelum memasukkan tabung plastik yang terhubung dengan alat vakum ke dalam rahim melalui serviks.

Perlahan Janin itu di sedot oleh alat vakum hingga bersih tidak tersisa. Proses vakum itu hanya memakan waktu sangat sebentar.

Setelah memastikan tidak ada Janin yang tersisa, Dokter mengeluarkan alat vakum dan membersihkan bagian intim milik Kara

Di luar sana, Deka mengerutkan dahi saat melihat Kara di pindahkan ke ruangan lain. Padahal seingatnya belum lama semenjak Kara masuk ke dalam ruangan penanganan.

"Jangan kaget! Prosesnya memang cepat, apalagi Kara baru hamil."

Deka menatap aneh Veron yang mengulurkan tangan di hadapannya. "Selamat karena gagal menjadi Ayah!" sarkas Veron sambil tertawa.

"Sialan!!" umpat Deka.

----

Kara terbangun merasakan pusing luar biasa yang mendera kepalanya. Mati-matian Kara berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatannya.

Hal yang pertama kali Kara lihat adalah Deka yang terbaring di sofa dalam keadaam mata terpejam. Tampaknya Deka sudah mandi karena pakaian ya berbeda dengan yang terakhir kali Kara lihat.

"Sshh..." desis Kara saat bagian intimnya terasa nyeri.

Sakit yang terasa luar biasa itu sangat sulit untuk Kara tahan. Bagian intimnya tidak pernah terasa sesakit ini sebelumnya.

Bahkan Kara mendesis saat kakinya tidak sengaja bergerak. Kara menutup mulutnya dengan tangan agar suaranya tidak mengganggu tidur Deka.

Tanpa Kara sadari bahwa air matanya sudah jatuh membasahi pipinya tanpa terduga. Kara berusaha Relax agar rasa sakitnya tidak semakin menjadi.

"Berisik!" Deka bangkit dari sofa dalam keadaan mengacak rambutnya.

Kara menunduk karena takut di marahi oleh Deka. "Maaf. Tidur kami jadi terganggu gara-gara aku." Ucap Kara menunduk.

Deka hanya mendengus tidak peduli. "Bagus kalau lo sadar!" cerca Deka.

Kemudian Deka kembali berbalik menuju sofa untuk mengambil nampan yang sudah berisi dengan makanan.

Di dalam nampan itu terdapat dada ayam, telur rebus, brokoli, nasi merah, jeruk, dan air putih.

"Nih makan!"

"Aku enggak bisa." Akui Kara. "Sakit..."

Deka mendengus namun tetap mengambil tempat duduk di sisi ranjang. Walaupun terpaksa tapi Deka tetap menyuapi Kara dengan hati-hati. Di perlakukan seperti itu saja sudah membuat Kara senang bukan main.

Namun, kebahagian Kara tidak bertahan lama. "Setelah ini gue bakal kembali ke Jakarta. Lo tetap di sini sampai gue yang datang jemput."

"Dan satu lagi, jangan buat siapapun curiga sama apa yang kita lakukan atau gue bakal benaran ninggalin lo. Paham!" lanjut Deka tanpa peduli kalau Kara akan terluka.

Kara tidak mampu menyembunyikan air matanya dengan perubahan Deka yang sangat drastis. Kara rela melakukan apapun agar Deka tidak pernah meninggalkannya.

Apapun akan Kara lakukan dan berikan, sekalipun akal sehatnya akan hilang.

----

Tinggalkan jejak kalian dengan
Vote, Comen, dan Follow!!!

Shattered Dreams (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang