Kepulangan Arsen dan Hera di sambut dengan rasa khawatir kepada putri mereka, Kara. Menurut para pelayan yang bekerja di rumah mereka, Sudah sejak dua hari yang lalu Kara tidak keluar dari kamar. Bahkan Kara menolak makan dan minum.
Perasaan bahagia Arsen saat membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk putri tersayangnya menguap begitu saja berganti rasa khawatir. Arsen meninggalkan semua barang bawaannya sebelum berlari menaiki tangga di susul oleh Hera, istrinya.
Berkali-kali Arsen mengetuk pintu tapi tidak ada sahutan apapun dari sang pemilik kamar. “Kara sayang, ini Papa!” panggil Arsen tanpa di hiraukan.
“Kara...” seru Arsen selembut mungkin. Selama Kara lahir, belum pernah sekalipun ia membentak atau berbicara dengan nada yang tinggi.
Kara lahir karena cintanya bersama Hera. Kara juga besar dengan penuh kasih sayang dan cinta. Sejak kecil, Arsen hanya memperlihatkan hal-hal indah kepada Kara. Siapapun yang membuat putri tersayangnya sampai seperti ini tidak akan Arsen maafkan.
“KARA! BUKA PINTUNYA...” Arsen takut terjadi sesuatu kepada Kara. Namun, saat hendak mendobrak pintu, Hera lebih dahulu menahannya. “Biar aku yang coba.” Arsen mengangguk dan mundur.
“Sayang, ini Mama dan Papa. Tolong buka pintunya.” Lagi-lagi tidak ada sahutan apapun.
“Kara, Mama dan Papa takut terjadi sesuatu sama kamu. Tolong keluar ya.” Hera menatap Arsen yang sudah sangat khawatir. Perasaan Hera juga tidak enak tapi ia harus bisa mengendalikan situasi ini.
“Izinin aku buat dobrak pintunya!” mohon Arsen yang langsung di angguki oleh Hera.
Namun, belum sempat hal itu terjadi, terdengar suara dari dalam kamar.
“Kara butuh waktu sendiri. Tolong jangan ganggu!” Arsen berkaca-kaca saat mendengar suara putrinya yang terdengar sangat sedih.
“Mama mengerti tapi kamu harus makan dan minum, sayang.” Bujuk Hera. “Kara enggak lapar, Ma.” Tolak Kara membuat Hera menghela nafas.
Sedangkan Arsen sudah tidak tahan untuk mendobrak pintu dan memastikan dengan matanya sendiri keadaan Kara. “Kalau gitu, Kara minum ya...” bujuk Arsen yang kembali mendapat penolakan. “Kara enggak haus, Pa.”
Saat Arsen hendak mendobrak pintu, Hera menahannya sambil menggelengkan kepala. “Kita kasih waktu buat Kara sama kesedihannya, ya...” meskipun enggan, Arsen tetap menuruti permintaan istrinya.
“Mama dan Papa akan kasih Kara waktu untuk sendiri. Jangan lama-lama ya sayang, Mama dan Papa khawatir sama Kara.”
Suasana kembali hening karena tidak ada sahutan apapun lagi dari Kara. Hera menatap pintu kamar putrinya dan Arsen secara bergantian. Meskipun terasa berat dan enggan tapi Hera tetap menarik suaminya menjauh. Kara butuh waktu dan Hera akan memberikannya.
Tidak ada yang mengetahui kalau kehancuran sudah mengikat kaki mereka. Tinggal menunggu waktu sampai tali kehancuran menarik mereka ke dasar jurang penuh air mata. Sebentar lagi, mereka akan merasakan sakitnya.
----
Di dalam kamar, Kara menangis tiada henti. Ia masih tidak menyangka kalau setelah semua yang di lakukannya, Deka dengan tega mengakhiri hubungan mereka.
Rasa sakit Kara tergambar jelas dengan suasana kamar yang mencekam, gelap dan berantakkan. Banyak pecahan kaca yang berserakan di lantai. Seolah kamar itu memang gambaran perasaan Kara yang hancur tanpa sisa.
“Aku udah kasih semuanya....” Kara menangis tersedu-sedu tanpa peduli kantung matanya yang sudah menghitam dan suaranya yang hampir menghilang.
Sudah sejak dua hari yang lalu, Kara menolak makan dan minum. Kondisi fisik Kara sudah sangat memprihatinkan, bahkan ia sudah tidak peduli berapa banyak pil ekstasi yang sudah masuk ke dalam tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams (END)
Teen Fiction𝙆𝙖𝙬𝙖𝙣𝙖 𝙍𝙖𝙝𝙚𝙣𝙖𝙯𝙪𝙡𝙖, 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘤𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘱𝘪 𝘤𝘩𝘶𝘣𝘣𝘺, 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘰𝘭𝘢𝘯 𝘑𝘢𝘺𝘢 𝘕𝘶𝘴𝘢, 𝙕𝙚𝙪𝙨𝙖𝙙𝙚𝙠�...