57. Mari Akhiri Semuanya!

1K 34 4
                                    

Ada yang mengatakan berhati-hatilah dengan apa yang kamu lakukan dan apa yang kamu katakan. Sebab jika penyesalan datang makan rasa bersalah itu akan menyakitimu dan membuatku kesulitan untuk bahagia.

Rasa bersalah itu ibarat pisau yang terus menancapkan luka di dada. Lukanya tidak terlihat tapi rasa sakitnya menyiksa hingga membuat sesak yang tidak bisa di jelaskan.

Deka merasakannya.

Setiap melihat Kara perasaan bersalah itu muncul dan membuat dadanya sesak.

Apalagi ketika Kara menyakiti gadis lain hanya karena dirinya. Deka merasakan rasa bersalah yang sangat menyiksanya. Melihat Kara menyakiti gadis lain tanpa ragu membuat ia mengingat dirinya yang menyakiti Kara tanpa pikir panjang.

Sesak dan sakit menyatu membuatnya tidak berdaya.

Deka mendaratkan ciumannya di kening Kara yang memejamkan mata dengan penuh kasih sayang. Pada saat jam belajar tadi, Deka mendapat kabar kalau Kara tiba-tiba saja pingsan di dalam kelasnya. Mendengar itu ia tanpa ragu langsung membawa Kara ke rumah sakit.

Sampai sekarang sudah terhitung dua jam Deka menunggu Kara yang masih senantiasa menutup mata. Lagi-lagi perasaan bersalah menyeruak memenuhi dadanya setiap melihat Kara.

“Maafin aku, Ra.” Ucap Deka melemah.

Masih teringat dengan jelas dalam benak Deka wajah teman sekelas Kara yang acuh tak acuh. Padahal dalam kondisi itu Kara terbaring di lantai yang dingin. Namun, tidak ada satu pun yang berniat menolong.

Mereka semua sibuk bermain handphone masing-masing seolah menganggap Kara tidak ada.

Pemandangan itu sukses membuat Deka hancur dan merasa bersalah lagi dan lagi.

Lidah Deka kelu untuk berucap hingga ia hanya membawa pergi Kara dalam keadaan diam. Seharusnya ia yang pantas mendapat semua  kebencian itu, bukan Kara.

Tangan Kara di raih Deka lalu di genggamnya. Berulang kali Deka mengecup telapak tangan Kara sambil berseru, “I love you.”

“I love you.”

“I love you.”

“I love you.”

“I love you, Ra. But if we continue to be together then you will definitely suffer even more.”

Awalnya Deka sempat berubah pikiran dan ingin terus bersama dengan Kara tapi kejadian hari ini membuat cara pandangnya kembali berubah.

Pilihan Deka untuk pergi memang sudah tepat karena jika ia terus memaksa untuk bersama Kara maka berapa banyak luka dan kebencian yang akan Kara terima?

Selain itu Deka semakin tidak bisa menahan rasa bersalah yang membuatnya semakin tersiksa. Ia ingin terus menggenggam tangan Kara kemana pun langkahnya tapi jika terus di paksa maka mereka tidak akan pernah bahagia.

Seandainya sejak awal Deka tidak membiarkan kemarahan dan kebencian memenuhi hatinya maka mereka pasti punya pilihan yang lebih baik. Mungkin saja jika Deka lebih cepat memaafkan masa lalunya, hal ini tidak akan terjadi.

Sebab sesuatu yang di mulai dengan cara tidak baik akan berakhir begitu pula.

Ini salah Deka tapi harus di akui kalau ia tidak sanggup memperbaikinya.

Terlalu banyak hal yang rusak.

Terlalu banyak rasa bersalah yang menyiksa.

Deka ingin bersama Kara saat semua perasaan buruk itu benar-benar pergi. Deka ingin mencintai Kara dengan perasaan bahagia bukan rasa sabar yang jelas pura-pura.

Usahanya untuk selalu sabar sangat melelahkan dan menguras banyak emosi. Kalau terus di biarkan maka ia akan meledak kapan saja dan mungkin akan melukai Kara kapan saja.

Itulah sebabnya Deka harus segera pergi sebelum hal itu terjadi.

----

“Gimana keadaan kamu? Kepala kamu pusing?” tanya Deka sesaat setelah Kara sadar dari pingsannya.

Kara menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Mau minum...” pinta Kara yang langsung di turuti Deka.

Setelah minum, Kara kembali merebahkan dirinya sambil menatap tangannya yang di genggam oleh Deka. Bau rumah sakit sungguh tidak Kara sukai. Apalagi kalau haris berlama-lama di ruangan yang penuh dengan bau obat.

Maka dari itu Kara meminta untuk pulang. “Aku mau pulang! Aku gak suka di sini.” Pinta Kara sambil menatap Deka yang entah kenapa tampak berbeda.

“Bentar lagi ya. Tunggu cairan infusnya habis dulu.” Ucap Deka selembut mungkin.

Satu hal yang Kara tangkap yaitu tatapan Deka yang tampak sayu dan sedih meskipun bibirnya tersenyum. Ada sesuatu yang terjadi tapi apa?

“Kamu kenapa?” tanya Kara pada akhirnya.

Gelengan kepala Deka membuat Kara semakin curiga tapi perasaan itu iya simpan di dalam hati. Selagi Deka ada di sisinya, itu sudah lebih dari cukup bagi Kara. Semuanya akan baik-baik saja asalkan Deka ada di sisinya. Kara berulang kali merapalkan kalimat itu di dalam hatinya agar tidak terpengaruh oleh raut wajah Deka yang agak berbeda.

Namun, rasanya cukup sulit untuk Kara lakukan. Apalagi Deka hanya diam tanpa mengatakan apapun. Padahal biasanya Deka selalu mengatakan sesuatu yang membuatnya bahagia. Tapi sayangnya Kara harus menahan pertanyaan yang ingin keluar dati bibirnya saat melihat dokter dan suster masuk ke dalam ruangannya.

Sapaan dari sang dokter hanya Kara balas dengan senyuman karena matanya fokus menatap Deka yang bergerak menjauh ketika dokter datang. Terlihat jelas sekali ada sesuatu yang aneh dari Deka tapi tampaknya pria itu tidak akan mengatakan apa-apa sehingga Kara memilih  untuk menanggapi ucapan sang dokter.

Lebih dari setengah jam bagi Kara untuk bisa keluar dari rumah sakit. Jujur saja Kara sudah tidak betah mencium bau obat yang menguar di mana-mana. Bau itu membuatnya mual dan ingin muntah.

Tapi keluar dari rumah sakit saja tidak bisa membuat Kara bernafas lega.

Keterdiaman Deka membuat Kara bertanya-tanya dalam diam.

Apa ia melakukan kesalahan?

Apa yang mengganggu pikiran Deka?

Haruskah ia bertanya atau diam saja?

Tapi ia sangat penasaran.

Lalu apa yang harus di lakukannya?

Tenggelam dalam pikiran membuat Kara tidak sadar kalau Deka sedang menatapnya dengan senyum geli.

Saking gemasnya Deka tidak tahan untuk tidak mendaratkan ciuman di pipi Kara. “Mikirin apa sih?” tanya Deka menahan geli saat melihat mata Kara membulat dan mengerjap lucu.

Lamunan Kara buyar begitu saja sesaat setelah pipinya mendapat sebuah ciuman. Kara memutar kepalanya dan menemukan Deka yang menatap dengan geli.

Senyum dan sikap Deka kembali seperti semula dan hal itu membuat Kara senang hingga tidak bisa menahan senyumnya.

“Tadi melamun aja terus sekarang senyum-senyum. Mikirin apa?”

Kara menggeleng tanpa memudarkan senyumnya. “Kamu ganteng.”

Mendengar jawaban itu membuat Deka tidak dapat menahan tawanya hingga pecah begitu saja. Deka tidak mampu menahan diri untuk menarik Kara dan menciumi kedua pipinya.

“Pacar siapa sih lucu banget?”

“Kamu.” Jawab Kara sambil tertawa.

Tawa Kara berhenti saat sadar kalau sedari tadi mobil Deka berhenti. “Kenapa stop? Katanya kamu mau antar aku pulang.” Tanya Kara saat sadar mobil Deka tidak bergerak.

Deka tertawa geli membuat Kara mengerutkan dahi. “Kok ketawa sih?!”

Tanpa mengucapkan apapun Deka meraih kedua bahu Kara dan memutar hingga membelakanginya. Di saat itu mata Kara terbelalak dan ia meringis menahan malu. Rupanya mereka sudah sampai.

“Tuh liat! Nyonya Hera udah nunggu putri tersayangnya.”  Goda Deka.

“Kenapa gak bilang?” gerutu Kara sambil menutupi rasa malunya

“Yah, masa kamu enggak kenal sekeliling rumah kamu.” Ucap Deka dengan nada menyebalkan.

Godaan Deka berhasil saat Kara menunjukkan wajah yang memerah sampai ingin turun dari mobil jika saja Deka tidak cepat menahannya.

“Apa lagi sih? Katanya udah sampai.” Ketus Kara.

Deka hanya tersenyum saja sambil meraih Paper bag yang ada di kursi belakang mobilnya lalu memberikannya kepada Kara.

Meskipun Kara menunjukkan wajah yang tidak tertarik tapi Deka tahu kalau pacarnya itu sedang menahan senyum. Tapi Deka diam saja dan tidak mencoba menggoda lagi karena takut Kara akan semakin marah.

Kara menatap Deka dalam kebingungan saat melihat Paper bag itu berisi gaun berwarna biru. “Gaunnya buat apa?”

“Kamu lupa?”

“Lupa?”

“Minggu depan kan sekolah kita prom night. Masa kamu lupa.”

Sekarang Kara ingat dan merutuki ingatannya yang sangat buruk. Di sisi lain Kara merasa senang dengan gaun pemberian Deka tapi ia mencoba tetap tenang meskipun bibirnya sudah tidak bisa menahan senyum.

Ketika Deka menyerahkan Paper bag lain, Kara mengerutkan  kening dalam kebingungan tapi tetap menerima.

“Obat sama vitaminnya  jangan lupa di minum ya!” ucap Deka sambil mengusap kepala Kara penuh sayang.

“Dah sana, masuk gih.”

Sialnya Deka tidak menduga kalau Kara akan mencium pipinya lalu keluar begitu saja. Ah, kalau tahu begitu maka Deka pasti akan menahan Kara lebih lama.

Senyum Deka tidak dapat di tahannya saat melihat Kara melambaikan tangan sambil tersenyum lucu. Namun di saat yang sama Deka juga menahan sesak di dalam hatinya.

Bagaimana ia akan menjalankan harinya tanpa Kara setelah ini?

----

Begitu sampai di rumah Deka langsung keluar saja dari mobil karena ada pelayan yang memiliki tugas untuk  membawa mobil ke dalam garasi. Deka cukup senang hingga ia tidak perlu repot-repot.

Tanpa mengganti baju, Deka langsung menuju meja makan karena sangat lapar.

Setelah selesai makan Deka naik ke atas kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Tapi rencana itu terasa akan sulit di realisasikan saat terdengar sebuah ketukan di pintu kamarnya.

Dalam keadaan rambut masih basah dan hanya mengenakan handuk, Deka membuka pintu. “Ada apa?” tanya Deka tanpa embel-embel apapun.

“Tuan muda di tunggu Nyonya Astanasia di bawah.”

“Saya pakai baju dulu.” Ucap Deka lalu menutup pintu tanpa  kamar tanpa menunggu sahutan pelayan  sama sekali.

Segeralah Deka mengambil kaos dan celana pendek sebelum turun untuk menemui mamanya yang baru saja pulang dari peragaan bajunya yang ada di bali.

Paling-paling Maminya itu hanya menyuruhnya untuk mengambil hadiah atau oleh-oleh yang di bawakannya. Meskipun sebenarnya Deka malah acuh tak acuh.

Deka berdiri menatap Maminya yang membelakanginya tapi ia tidak menemukan hadiah atau oleh-oleh apapun yang ada di atas meja.

‘Apa masih di dalam mobil’ tanya Deka agak bingung. Sementara Papanya hanya diam sambil memijar kepalanya.

Tatapan Deka kembali kepada Maminya yang kini menatapnya dengan sorot penuh kemarahan. “Ada apa sih, Pi?!” tanya Deka saat Maminya berjalan semakin dekat ke arahnya.

“Kenapa sih Mami—”

Belum sempat Deka menyelesaikan ucapannya, wajahnya sudah lebih dahulu di tampar oleh Maminya sendiri. “Mami is embarrassed to have a child like you, Ka!!”

----

Aku lagi bingung nih mau bicara apa.

Pokoknya kalian comen aja dan jangn lupaa vote.

See you...

*Jangan lupa vote dan comen

Shattered Dreams (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang