Setelah kepergian kedua orang tua Kara, tersisalah Deka yang terduduk di sofa dalam keadaan frustrasi. Kenyataan yang baru saja di alaminya membuat Deka tidak punya pilihan lain selain bertemu dengan Kara.
Masih terbayang dan teringat dalam benak Deka ketika air mata Mama Kara mengalir melewati jari-jari kakinya. Deka masih tidak habis pikir kalau Mama Kara akan datang dan pergi tanpa mendaratkan satu pun tamparan di wajahnya. Bahkan tidak ada cacian ataupun ungkapan kemarahan yang Mama Kara ucapkan untuknya.
Dalam bayangan Deka, ia akan di tampar, dicaci, dan di sumpahi tapi tidak satu pun dari hal itu yang terjadi.
Bagaimana bisa Mama Kara pergi begitu saja?
Apakah tidak ada kemarahan ataupun kebencian di hati Mama Kara untuknya?
Kenapa bisa ada orang dengan hati sebaik itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Deka bagai kaset rusak. Kenyataan itu membuat perasaan Deka di penuhi rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Tangisan Mama Kara telah berhasil menggoyahkan pertahanannya untuk tidak menemui Kara.
Permohonan maaf Mama Kara juga telah mempengaruhi pikiran Deka. Bagaimana bisa Mama Kara meminta maaf pada orang yang telah menghancurkan kehidupan putrinya? Deka masih tidak habis pikir.
“Kenapa Mama Kara enggak marah sama aku, Ai?” tanya Deka di saat otaknya tidak mampu menemukan jawaban apapun.
Aileen yang sejak tadi berada di samping Deka meraih tangan laki-laki itu untuk di genggam agar kegelisahannya bisa sedikit berkurang.
“Karena Tante Hera tahu kalau di hati kamu penuh dengan luka, amarah dan kebencian akibat perselingkuhan suaminya di masa lalu. Tante Hera mungkin ingin marah sama kamu tapi dia sadar kalau kemarahan dan kebencian di balas dengan hal yang sama maka masalah itu enggak akan pernah selesai.” Jelas Aileen
Mendengar hal itu, Deka semakin merasa bersalah. “Seharusnya aku di tampar, di marahi, dan di caci sama Mama Kara, Ai. Aku udah menghancurkan hidup anaknya! Tapi Mama Kara malah menangis dan bersujud sambil memohon maaf sama aku. Aku enggak ngerti, Ai! Kenapa Mama Kara minta maaf sama aku?!!” Deka meremas rambutnya karena rasa pusing yang mendera kepalanya.
Rasa bersalah memang hal yang mengerikan. Deka merasa tidak nyaman dengan perasaan bersalah yang menyiksa dirinya. Sekarang Deka menyesali keputusannya untuk bertemu dengan kedua orang tua Kara. Seharusnya ia tetap di dalam kamar dan menyuruh pelayan serta satpam di rumahnya untuk mengusir kedua orang tua Kara agar rasa bersalah itu tidak menyiksanya.
“Deka.” Panggil Aileen saat melihat Deka yang semakin gelisah.
Kedua tangan Aileen meraih wajah Deka agar menatap dirinya. “Tante Hera minta maaf karena tahu kalau kamu butuh itu.” Deka menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan perkataan Aileen.
“Aku enggak butuh, Ai! Apalagi dari orang yang enggak bersalah.”
Kali ini giliran Aileen yang menggeleng. “Kamu butuh permintaan maaf itu. Hati kamu yang terluka dan di penuhi kebencian karena perselingkuhan, butuh permintaan maaf itu.”
“Kamu salah, Ai. Aku enggak butuh!”
“Kamu butuh!”
“Enggak Ai! Apalagi dari orang yang enggak bersalah.”
“Kara juga enggak salah! Kenapa kamu jahat sama dia?” Deka langsung terdiam dengan tubuh yang mematung.
Sementara itu Aileen terus mengatakan hal yang membuat Deka semakin kehilangan kata-kata.
“Kalau kamu memang enggak butuh permintaan maaf dari orang yang enggak bersalah, kenapa kamu melampiaskan kebencian dan kemarahan kamu sama orang yang enggak bersalah? Jawab Deka!!”
Deka semakin kehilangan kata-kata setalah mendengar sederet perkataan dan pertanyaan Aileen. Otaknya mendadak kosong tanpa kata-kata untuk membantah pernyataan Aileen.
Melihat keterdiaman Deka membuat Aileen melanjutkan ucapannya. “Kara enggak salah! Kara juga korban dari perselingkuhan itu seperti kamu. Bedanya Kara enggak tahu sedangkan kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan itu!”
“Kamu enggak bisa menyalahkan dan melampiaskan kebencian itu sama Kara yang enggak tahu apa-apa.”
“Tapi Kara anak dari selingkuhan Mami. Papa Kara udah menghancurkan hidup dan masa kecil aku, Ai.” Bantah Deka karena tidak ingin mengakui kekalahannya.
“Kamu juga anak dari selingkuhan Papanya Kara!” perkataan Deka di kembalikan Aileen dengan cara yang sama. “Coba sekarang kamu bayangin kalau posisi kamu dan Kara di tukar. Kamu enggak tahu apa-apa tapi Kara menjadikan ketulusan dan cinta kamu sebagai alat untuk balas dendam atas kesalahan yang bahkan enggak kamu lakukan. Gimana perasaan kamu, Ka?”
Kepala Deka tertunduk tidak mampu membalas ucapan Aileen lagi. Pada dasarnya semua yang di katakan Aileen adalah kebenaran yang tidak bisa ia bantah. Ia memang pengecut karena takut dan tidak berani mengakui semua kesalahannya kepada Kara.
Sejak awal semua yang di katakan Aileen benar. Kara tidak salah dan tidak seharusnya di salahkan. Kebencian di dalam hati yang berbalut rasa iri telah membuatnya menyalahkan Kara yang tidak bersalah. Deka menyesal karena terlambat menyadari kebodohannya.
Setelah menyadari semua kesalahannya, Deka menghamburkan diri ke dalam pelukan Aileen dan menyandarkan kepalanya di bahu Aileen. Ia menangis dalam diam setelah sadar betapa jahat perbuatannya di masa lalu.
“Aku salah, Ai! Aku bodoh!” akui Deka.
Aileen tersenyum karena merasa perjuangannya tidak berakhir sia-sia. Rasanya membahagiakan saat bisa membuat Deka sadar kalau perbuatannya salah. Sebagai sahabat yang tahu masa lalu Deka, hanya satu yang Aileen harapkan.
Semoga Deka bisa segera berdamai dengan masa lalu dan hidup dengan bahagia.
Sebagai sahabat Kara juga, Aileen berharap Kara akan bahagia setelah semua penderitaan dan rasa sakit yang di alaminya.
Karena masa lalu adalah hal yang tidak mungkin untuk di ulang. Memendam kebencian dan kemarahan di dalam hati hanya akan menyakiti diri sendiri. Deka adalah bukti nyata dari keduanya.
Karena jika hati sudah termakan oleh amarah, kebencian, dan rasa iri, tidak akan ada yang tersisa selain rasa bersalah dan penyesalan di akhirnya.
----
Deka mengeratkan pelukannya kepada Kara seolah takut kalau Kara akan pergi kalau ia melonggarkannya sedikit saja. Tiga hari sudah berlalu semenjak kedatangan pertamanya menemui Kara. Semenjak hari itu ia rutin menemui Kara setiap hari. Tidak terkecuali hari ini.
Awalnya Deka panik ketika tidak menemukan Kara saat masuk ke dalam ruang rawatnya. Untungnya kepanikan itu tidak berlangsung lama karena saat ia ingin keluar mencari Kara, perempuan itu sudah ada di depan pintu sambil tersenyum kearahnya.
“Jangan peluk kenceng-kenceng! Aku susah nafas.” Deka yang sadar tindakannya pun lekas menjauhkan diri.
“Kamu dari mana?” tanya Deka sambil mengecek tubuh Kara. Takut kalau ada luka di tubuh Kara.
Namun, semua kekhawatirannya sirna saat menemukan tidak ada luka apapun di tubuh Kara seperti yang di khawatirkannya. “Kenapa tubuh kamu sampai keringatan gini?” tanya Kara saat melihat peluh yang membanjiri kening Deka.
“Gak papa.” Jawab Deka. “Kamu belum jawab pertanyaan aku. Dari mana?”
“Oh, aku dari taman habis jalan-jalan.” Kara melempar senyum ke arah Deka.
“Kenapa gak tunggu aku?”
“Aku pikir kamu enggak datang hari ini.” Kara berjalan melewati Deka begitu saja menuju sofa yang ada di ruang rawatnya. “Makanya aku jalan sendiri.” Sambung Kara setelah duduk.
Deka mengikuti jejak Kara dan duduk di samping perempuan itu. Dengan telaten Deka memberikan minum saat Kara merasa haus. “Lain kali jangan kemana-mana sebelum aku datang!” tegas Deka.
“Iya.”
Kara diam sambil memejamkan matanya saat merasakan Deka turun ke lantai dan memijat kakinya. Untuk kali ini Kara tidak akan menolak karena kakinya memang terasa sangat pegal setelah berjalan mengelilingi taman.
Bau rumah sakit membuat Kara tidak nyaman tapi taman rumah sakit adalah tempat favoritnya. Di sana banyak pohon dan bunga yang membuatnya merasa sangat aman dan nyaman. Hal itulah yang membuat Kara tidak ingin melewatkan harinya tanpa pergi ke taman.
Walaupun setelahnya kakinya akan sakit. Kara tidak menyesal sama sekali. Apalagi sekarang sudah ada Deka yang akan memijit kakinya setelah ia kelelahan berjalan.
“Sebelah sini masih sakit...” adu Kara dengan manja.
Untungnya Deka dengan senang hati menuruti permintaan Kara.
Sejak menyadari kesalahannya kepada Kara, sikap Deka berubah 180 derajat. Tidak ada lagi Deka yang kasar dan jahat. Sekarang hanya Deka yang baik, ramah, dan memperlakukan Kara layaknya seorang putri yang harus selalu ia lindungi.
Hal lain yang Deka sadari selain kesalahannya kepada Kara adalah memaafkan segala yang terjadi di masa lalunya. Setelah memaafkan masa lalunya, Deka menyadari perasaan menjadi lebih lega dan ringan. Seolah beban di pundak yang selama ini di tanggungnya hilang begitu saja.
Jujur saja Deka menyesal karena terlambat menyadari kalau memaafkan adalah cara menyelamatkan diri sendiri dari rasa sakit yang besar.
Deka sangat berterima kasih kepada Mama Kara terutama Aileen yang tidak menyerah membuatnya sadar. Kalau bukan karena mereka mungkin ia akan terus menderita karena amarah dan kebencian yang di simpannya selama ini.
“Kok diam sih! Kaki aku masih sakit...” rengek Kara saat Deka menghentikan gerakan tangannya.
Lamunan Deka buyar begitu saja saat mendengar suara Kara. Begitu sadar Deka langsung melanjutkan tangannya untuk memberikan pijatan pada kaki Kara. “Maaf ya.” Ucap Deka tulus.
“Kamu belum makan kan? Aku bawain kamu bubur.”
Wajah Kara yang sempat cemberut kembali tersenyum. “Aku mau tapi harus di suapin!” Deka tertawa mendengar pernyataan Kara. “Okay, aku suapin. Tapi makannya harus habis!” Kara lekas mengangguk. “Iya.” Jawabnya kelewat semangat.
Melihat senyum di wajah Kara membuat Deka merasa sedih karena teringat perbuatannya di masa lalu. Bagaimana bisa ia menyakiti Kara yang tidak bersalah? Bagaimana pula ia membuat wajah secantik ini selalu menangis? Deka sangat menyesali perbuatannya.
Maka dari itu Deka bersumpah akan membuat Kara bahagia sebelum ia pergi. Senyum manis dan tawa Kara yang ia rekam di dalam ingatannya sebagai kenangan indah.
I love you Kara but I need time to heal all the wounds in my heart.
Jika waktu memang memihak kepada kita, aku harap kita akan bertemu lagi dengan versi terbaik.----
TERTAWAN HATI by AWDELLA
Do you like the song?
Aku pikir lagu ini tuh cocok banget sama cerita Deka dan Kara. Gimana kalau pendapat kalian?
Setelah up bab ini tuh, aku benar-benar gak sabar untuk up bab selanjutnya. Huhu...
Tapi aku harus sabar untuk minggu depan. So, kalian harus tunggu bab selanjutnya yang akan aku update minggu depan.
Aku boleh cerita gak sih? Tapi sebelum itu aku pengen kasih tahu kalian kalau umur aku tuh 19 tahun dan baru tamat SMK setahun lalu.
Btw, aku jurusan akuntansi (Balance gak balance harus balance) haha... Semboyan akuntansi tuh.
Jadi selama setahun ini tuh udah ada 3 teman aku yang nikah. Duanya udah tahun lalu terus yang satunya di bulan ini dan aku di undang.
Aku pengen tahu pendapat kalian tentang pernikahan?
Aku enggak benci pernikahan cuma enggak kebayang kalau aku sampai nikah. Sekarang tuh lagi marak kasus perceraian dan pembunuhan antara pasangan. Kalau di pikir-pikir, gimana bisa orang yang mengaku saling cinta lalu menikah bisa berakhir cerai atau saling bunuh?
Pesta mewah dan penuh kebahagian bisa berubah menjadi perceraian dalam satu tahun. Entah itu karena ekonomi, kdrt, atau perselingkuhan. Ini menakutkan buat aku.
Aku enggak melarang kalian atau siapapun untuk nikah muda, atau nikah pas dewasa. Asal jangan pernikahan dini ya!
Aku cuma mau kalian memilih orang yang tepat untuk jadi pasangan kalian. Sosok yang punya rasa cinta dan sayang yang besar buat kalian. Selain itu juga bertanggung jawab dan enggak kasar sama kalian.
I have a hard time believing in things related to marriage. Tapi aku harap kalian enggak gitu.
Sekali lagi aku bilang kalau aku enggak benci sama pernikahan. Tapi ada rasa takut di dalam hati aku setiap mendengar kata pernikahan itu.
Aku harap kalian yang akan menikah di masa depan ataupun yang sudah menikah bisa punya kehidupan yang bahagia dan punya pasangan yang baik, kaya, dan setia.
Maaf ya kalau aku mulai ngaco. Tapi aku tulus mengharapkan kebahagian kalian.
*Jangan lupa tinggalkan vote dan comen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams (END)
Teen Fiction𝙆𝙖𝙬𝙖𝙣𝙖 𝙍𝙖𝙝𝙚𝙣𝙖𝙯𝙪𝙡𝙖, 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘤𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘱𝘪 𝘤𝘩𝘶𝘣𝘣𝘺, 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘰𝘭𝘢𝘯 𝘑𝘢𝘺𝘢 𝘕𝘶𝘴𝘢, 𝙕𝙚𝙪𝙨𝙖𝙙𝙚𝙠�...