59. Menghilangnya Deka!

1.1K 31 4
                                    

Astanasia tidak dapat menyembunyikan senyumnya saat mengetahui kalau putra semata wayangnya telah memilih untuk tinggal kembali di rumah mereka. Mungkin ini akan menjadi awal yang baik baginya untuk memperbaiki hubungan antara ibu dan anak.

Kalau bisa jujur, Astanasia masih tidak percaya kalau hari yang di nantinya akan tiba. Hari di mana Deka ingin tinggal di rumah mereka tanpa paksaan apapun.

Beberapa menit lalu setelah masuk ke dalam mobil, ia sempat meminta sopirnya untuk mampir sebentar ke apartemen Deka tapi sang sopir mengatakan kalau Tuan muda mereka sudah tinggal di rumah selama ia di luar negeri.

“Nyonya mau langsung ke rumah?” Astanasia menggeleng. “Saya mau mampir ke apartemen Deka sebentar.” Jawab Astanasia

Meskipun tidak sabar untuk menemui putranya tapi Astanasia ingin melihat apartemen yang sudah lama di tinggali putranya seorang diri. Ada rasa penasaran yang sudah lama ingin ia tuntaskan. Mungkin inilah  waktunya.

Setelah meminta akses card, Astanasia sudah berada  di depan pintu apartemen putranya. Setelah menempelkan akses card, Astanasia bisa melihat apartemen putranya untuk pertama kali. Tidak ada yang spesial ataupun menarik selain ruangan dengan nuansa hitam putih.

Puas melihat-lihat ruangan hitam putih itu, Astanasia melanjutkan langkah kakinya menuju kamar Deka. Kembali lagi Astanasia temui ruangan dengan nuansa hutam putih yang teramat membosankan.

Sambil berjalan, mata Astanasia tidak melewatkan satu titik pun dari setiap sudut kamar putranya. “Kamar di rumah bahkan jauh lebih bagus dari ini.” Gumam Astanasia.

Langkah Astanasia berhenti begitu saja saat matanya tanpa sengaja menemukan sesuatu yang terlihat mencurigakan. Astanasia membungkuk dan mengambil benda tersebut. Garis senyum yang sedari tadi terpatri di wajahnya lenyap begitu saja berganti raut tegang.

Lalu Astanasia menatap sekeliling kamar sekali lagi sebelum mulai menggeledah laci, lemari dan setiap sudut di dalam kamar putranya. Astanasia tersandar di dinding dengan raut kecewa yang bercampur dengan kesedihan.

Astanasia menemukan sekotak jarum suntik beserta sabu dan pil ekstasi yang berarti Deka telah kecanduan obat-obatan terlarang itu

Tapi rupanya kejutan untuknya tidak berhenti begitu saja. Sebuah kertas tanpa sengaja jatuh dari lemari yang baru saja di geledahnya. Ketika membaca isi dari kertas itu, Astanasia merasa pasokan oksigennya menipis dan ia kesulitan bernafas.

SURAT KETERANGAN ABORSI

Nama : Kawana Rahenazula
Penanggung jawab : Zeusadeka Pantara Bulaleno

Nafas Astanasia tercekat dan tangannya bergetar. Ada rasa tidak percaya kalau putranya bisa melakukan semua kegilaan ini. Astanasia meraih handphonenya yang ada di dalam tas dan menelpon nomor yang tertera di surat yang baru saja di bacanya.

“Halo, selamat pagi dengan rumah sakit Gandara Kencana. Ada yang bisa saya bantu?”

“Apa benar perempuan bernama Kawana Rahenazula pernah melakukan aborsi di sana?”

“Maaf Ibu, kami tidak bisa membocorkan data-data mengenai pasien kami.”

Astanasia menahan emosinya yang hampir saja meledak. Untuk sekarang ini ia harus bisa mengendalikan emosinya sebaik mungkin.

“Saya Astanasia Rachet Bulaleno. Apa kamu tetap tidak bisa memberikan informasi yang saya minta.”

“Tunggu sebentar Bu, saya akan konfirmasi terlebih dahulu.” Terdengarlah suara bisik-bisik dari seberang sana yang membuat Astanasia harus sabar menunggu.

“Maafkan tindakan saya sebelumnya. Memang ada pasien aborsi bernama Kawana Rahenazula dan penanggung jawabnya—”

“Zeusadeka Pantara Bulaleno.” Potong Astanasia.

“Iya benar, Bu.”

“Baik. Terima kasih untuk informasinya.”

Setelah panggilan tersebut berakhir, Astanasia yang sudah tidak bisa berpikir jernih mengirim gambar surat itu kepada suaminya. Sesuai dugaan, sang suami langsung menghubunginya begitu melihat pesannya.

“Di mana kamu dapat surat itu?” tanya Clando begitu Astanasia menjawab telponnya.

“Hubungi petinggi di rumah sakit itu dan minta mereka menghapus data tentang Zeus.”

“Asta--”

Panggilan itu langsung di putus sepihak oleh Astanasia. Sekarang ada hal yang jauh lebih penting dari pada mendengarkan Clando. Putranya itu harus bertanggung jawab karena melanggar batas kebebasan yang sudah di berikannya.

Sekarang Astanasia akan tunjukkan apa yang akan di dapatkan putranya itu karena sudah melanggar batas kebebasan itu. Astanasia kembali mencari nomor telepon di handphonenya lalu menghubungi nomor tersebut.

Panggilan itu langsung di jawab pada dering pertama.

“Selamat siang Nyonya Astanasia. Ada yang bisa saya bantu?”

Astanasia terdiam sebentar untuk meneguhkan hati dan meyakinkan dirinya sebelum buka suara.

“Saya ingin melaporkan kasus penyalahgunaan narkoba.” Ucap Astanasia dengan nafas tercekat.

“Baik. Siapa yang Nyonya Astanasia laporkan?”

“Anak saya sendiri. Zeusadeka Pantara Bulaleno.”

Begitulah akhirnya Astanasia dan pilihannya untuk menjebloskan putranya sendiri ke dalam jeruji besi yang akan mengurung kebebasan putra kesayangannya.

Dan berakhir memisahkan Deka dan Kara.

Deka memang ingin pergi tapi tentu bukan pergi tanpa mengatakan sesuatu kepada Kara. Deka ingin pergi secara baik-baik karena ia akan kembali setelah semuanya baik-baik saja. Jika perpisahan ini terjadi begini, bukankah Kara akan kembali terluka?

Pada akhirnya Kara memang di takdirkan menanggung semuanya sendirian.

----

Sudah tiga hari semenjak Deka memberinya gaun dan Kara tidak pernah bertemu lagi dengan pacarnya. Semua pesan yang di kirimnya tidak mendapat balasan apapun. Begitu pula ketika ia menelpon dan mendapat jawaban kalau nomor pacarnya sudah tidak aktif.

Kemana Deka pergi?

Bahkan sudah tiga hari ini juga Kara tidak menemukan Deka ataupun Veron dan Keyzo sehingga tidak ada yang bisa di tanyainya. Bertanya pada Aileen pun tidak mungkin karena perempuan itu sudah tidak pernah datang ke sekolah lagi sejak pertengkaran mereka terakhir kali.

Sedangkan Jasmine tidak pernah masuk kelas lagi karena menyiapkan pentas teater untuk hari perpisahan mereka.

Lalu, siapa lagi yang bisa Kara tanyai? Jawabannya tidak ada.

Teman satu kelasnya saja kompak menjauhi dirinya dan menganggap seolah ia tidak ada begitu pula dengan seluruh siswa di Nusa Jaya. Semuanya kompak mengasingkan ia seorang diri.

Sebelumnya Kara tidak terlalu merasakannya karena selalu ada Deka tapi beberapa hari ini semuanya mulai terasa. Hal itulah yang menjadi penyebab  kenapa pagi ini ia bangun dalam keadaan lesu dan tidak bersemangat.

Kalau hari ini Deka masih tidak datang untuk menjemputnya maka Kara akan bolos sekolah. Lagi pula sekolah mereka sudah tidak ada kegiatan belajar lagi.

“Kenapa Kara belum siap-siap sekolah?” tanya sang Mama saat masuk ke dalam kamar Kara dan putrinya itu masih bersembunyi di dalam selimut.

“Kara enggak mau sekolah, Ma.” Sahut Kara dari balik selimut.

Hera yang sedang membuka gorden sampai menghentikan gerakannya saat mendengar jawaban sang putri. “Loh, kenapa?”

“Deka enggak ada, Ma. Aku malas sendirian.”

“Kan masih ada teman-teman, kamu. Kalau Deka enggak bisa jemput, ada Papa sayang.”

“Bukan itu, tapi nomor Deka enggak bisa di telpon, terus pesan aku juga enggak di balas, Ma.”

Melihat raut wajah Kara yang kesal membuat Hera ingin tertawa. Setelah selesai membuka gorden, Hera pun berjalan menghampiri putri tersayangnya itu.

Dengan penuh kasih sayang Hera mengusap kepala putrinya sambil mencoba menyusun kata yang tepat untuk menenangkan kekhawatiran putrinya.

“Mungkin Deka punya urusan penting yang harus di selesaikan sampai enggak bisa angkat telpon dan balas pesan, Kara. Deka pasti datang kok nanti, kan dia kasih Kara gaun untuk prom night.”

Akhirnya Kara mengangguk meskipun terlihat masih tidak puas. “Iya tapi aku tetap enggak mau sekolah.”

Seulas senyum terbit di wajah Hera. “Yaudah, Mama enggak akan paksa, Kara. Mama ke kamar dulunya siapin baju buat, Papa.” Pamit Hera.

Di dalam kamar itu Kara kembali sendirian sambil membuka handphone dengan harapan kalau setidaknya Deka membalas pesannya walau sekali. Namun, hasilnya nihil karena tidak ada notifikasi apapun dari Deka.

Bahkan pesannya pun masih centang satu yang mana itu artinya Deka belum membaca sama sekali.

Hari itu Kara bisa sedikit tenang karena perkataan Mamanya tapi ia tidak sadar kalau Deka sudah pergi tanpa sempat berpamitan padanya. Membuat ia tenggelam dalam harapan yang telah padam dan berakhir kecewa.

Sekeras apapun mereka berusaha untuk terus bersama, akhirnya akan tetap sama karena semesta turut andil dalam memisahkan mereka.

----

Hai semuanya, I'm back.
Gak kerasa tinggal satu bab lagi cerita ini akan tamat. Tinggalin banyak pesan dan kesan kalian di dua bab terakhir ini ya.

Cerita Shattered Dreams ini bakal ada S2 nya tapi enggak dalam waktu dekat. S2 nya bakal aku up 2 atau 3 bulan lagi karena aku bakal fokus ke cerita yang baru.

Siapa yang gak sabar ketemu Kalan dan Sea? Betrayed Affections bakal tayang minggu depan tapi aku masih bingung bakal tayang hari apa aja.

Aku mau bikin jadwal tayangnya itu Selasa dan Sabtu tapi apa aku bikin sama aja kaya jadwal Shattered Dreams Selasa dan Kamis. Menurut kalian gimana?

Apa sih perbedaan Betrayed Affections dan Shattered Dreams? Aku baru sadar akhir-akhir ini kalau Shattered Dreams ini terlalu universal atau terlalu banyak hal yang di bahas. Maksudnya tuh ceritanya enggak benar-benar fokus sama Deka dan Kara jadi banyak yang kurang tepat atau enggak di bahas sampai habis. Sedangkan Betrayed Affections nanti cuma bakal fokus sama Kalan dan Sea jadi ceritanya bakal lebih rinci.

Spoiler dikit ya,  Shattered Dreams S2 nanti cuma bakal fokus sama Deka dan Kara. Latar belakangnya itu pas mereka udah dewasa. Spoilernya cukup sampai di situ.

Sampai jumpa hari kamis di ending Shettered Dreams.

*Jangan lupa Vote dan Comen!!!

Shattered Dreams (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang